Shalat Tarawih–Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
B. Apakah shalat Tarawih Sama Dengan Tahajjud ?
D. Shalat Tarawih Sendirian di Rumah
Bab XI - Shalat Tarawih
A. Jumlah Rakaat
Hadits tentang sholat tarawih 20 rakaat memang bukan sekedar dhaif jiddan tapi sampai pada derajat mungkar, matruk dan maudhu‘.
Teks hadis ini adalah dari Ibn Abbas, ia berkata:
“Nabi SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.
Hadis ini diriwayatkan Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadis-hadisnya adalah munkar. Imam al-Nasa‘i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah adalah matruk. Imam Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).
Tetapi yang jumlahnya delapan pun tidak kurang derajatnya dari yang 20 rakaat.
“Rasulullah SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”.
Hadis ini diriwayatkan Ja‘far bin Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I‘tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Isa bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma‘in, adalah munkar al-Hadis (Hadis-hadisnya munkar). Sedangkan menurut Imam al-Nasa‘i, ‘Isa bin Jariyah adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya pendusta.
Jadi bila disandarkan pada kedua hadits di atas, keduanya bukan dalili yang kuat untuk rakaat 8 atau 20 dalam tarawih.
Namun, perlu diketahui, hal itu bukan berarti shalat delapan rakaat atau dua puluh rakaat itu tidak boleh. Sebab yang dibahas di sini adalah bahwa hadis shalat tarawih delapan rakaat dan hadis tarawih dua puluh rakaat itu kedua-duanya maudhu atau minimal matruk. Jadi shalat tarawih dengan delapan rakaat atau dua puluh rakaat, kedua-duanya boleh dilakukan karena tidak ada keterangan yang konkret tentang jumlah rakaat shalat tarawih Nabi.
Keterangan yang shahih, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih (Qiyam al-Lail). Misalnya hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a dimana Nabi mengatakan, ‘‘Siapa yang shalat pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala Allah, maka allah akan mengampuni dosanya (yang kecil-kecil).‘‘
Dan khusus bagi yang menjalankan shalat tarawih dua puluh rakaat, ada dalil tambahan, yaitu ijma (konsensus) para sahabat Nabi SAW, di mana pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, Ubay bin Ka‘ab menjadi imam shalat tarawih dua puluh rakaat, dan tidak ada satu pun dari sahabat Nabi yang memprotes hal itu.
B. Apakah shalat Tarawih Sama Dengan Tahajjud ?
Shalat tarawih dikenal sebagai shalat yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan. Dahulu Rasulullah SAW pernah melakukannya di masjid bersama dengan beberapa shahabat. Namun pada malam berikutnya, jumlah mereka menjadi bertambah banyak. Dan semakin bertambah lagi pada malam berikutnya.
Sehingga kemudian Rasulullah SAW memutuskan untuk tidak melakukannya di masjid bersama para shahabat. Alasan yang dikemukakan saat itu adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena itu kemudian mereka shalat sendiri-sendiri.
Hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut serayas mengomentari,”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yatiu sesuai yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
Adapun tahajjud atau qiamullail, adalah shalat yang biasa dilakukan Rasulullah SAW baik di malam Ramadhan atau diluar Ramadhan. Dan shalat itu bukan shalat Tarawih itu sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa pada malam Ramadhan, Rasulullah SAW shalat tarawih di awal malam ba‘da isya‘ lalu tidur dan pada akhir malam beliau melakukan shalat tahajjud/lail hingga sahur.
Nampaknya hal itu pula yang hingga kini dilakukan oleh sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia.
C. Yang Dibaca Saat Tarawih
Doa atau wirid yang dibaca diantara sela atau jeda di dalam rakaat-rakaat shalat tarawih sebenarnya tidak memiliki dasar masyru`iyah dari Rasulullah SAW. Baik wirid itu dalam bentuk doa atau zikir atau syair-syair yang biasa dilantunkan oleh para jamaah, kesemuanya tidak ada kaitannya dengan apa yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW maupun para shahabat.
Sehingga bila anda mendapati di setiap shalat tarawih ada perbedan bacaan, karena memang tidak ada dasarnya, sehingga masing-masing penyelenggara shalat tarawih berimprofisasi sendiri-sendiri. Terkadang mereka meniru ucapan-ucapan dari tempat lain yang tidak mereka sendiri tidak tahu dasar masyru`iyahnya. Apalagi maknanya sehingga semua itu berlangsung begitu saja tanpa kejelasan hukumnya.
Disinilah sesungguhnya kita umat Islam dituntut untuk belajar secara serius tentang praktek ibadah kita langsung dari sumber yang muktamad dan kepada para ulama yang faqih di bidangnya.
D. Shalat Tarawih Sendirian di Rumah
Sholat tarawih disunahkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW . Adapun persolaan kenapa Rasulullah SAW selanjutnya tidak melaksankan sholat tersebut secara berjama’ah bersama para sahabat ?, Berdasarkan sejumlah hadis, hal tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran Rasulullah SAW bahwa sholat tarawih tersebut akan difardukan kepada kaum muslimin.
Dari Aisyah Ra sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksankan sholat kemudian orang-orang sholat dengan sholatnya tersebut, kemudian beliau sholat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah SAW tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah SAW berkata: “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (sholat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawati bahwa sholat tersebut akan difardukan” Rawi hadis berkata: Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan” (HR. Bukhori 923 dan Muslim 761)
Dan sekarang kekhawatiran tersebut telah hilang dengan wafatnya Rasulullah SAW setelah Allah SWT menyempurnakan syariat-Nya. Dengan demikian, hilang pula Al-Ma’lul yaitu meninggalkan jama’ah dalam Qiyam Ramadhan dan hukum yang terdahulu berlaku lagi yakni disyariatkanya sholat tersebut berjama’ah sebagaimana yang dihidupkan kembali oleh Umar Ra.
Permasalahan selanjutnya apakah tarawih secara berjama’ah adalah bid’ah? Sebelum kita membahas masalah tersebut, kita perjelas makna bid’ah terlebih dahulu. Sheikh Ali Mahfudz di dalam kitabnya Al Ibda` fi Madharil Ibtida` berkata bahwa bid`ah bisa ditinjau dari segi bahasa dan istilah. Dari segi bahasa ia bermakna: `Segala sesuatu yang diciptakan dengan tidak didahului contoh-contoh`Sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut:`Bid`ah ialah suatu ibarat yang berkaitan dengan masalah-masalah agama. Dilakukannya menyerupai syariat dengan cara yang berlebihan dalam mengabdikan kepada Allah swt.`
Dari definisi di atas, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa sholat tarawih berjama’ah setelah isya adalah bid’ah karena beberapa alasan:
Pertama: Sholat tarawih adalah termasuk sholat sunah malam dan pelaksanaannya boleh dilaksanakan setelah pelaksanaan sholat isya sampai terbit fajar atau sholat shubuh. Meskipun memang waktu yang paling utama adalah sepertiga malam terakhir.
Zaid bin Wahab berkata: “Abdulloh pernah melaksankan sholat Qiyam ramadhan bersama kami dan pulang di waktu malam (Ini menunjukkan pelaksanaannya di permulaan malam)” (HR. Abdurrazaq No 7741 dan sanadnya Shahih)
Kedua: Sebagaimana kami kemukakan di atas, sholat tarawih disunahkan dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dihidupkan kembali oleh Umar ra.
Kemudian jika ada yang bertanya lebih afdhol mana sholat tarawih sendiri di sepertiga malam terakhir dengan sholat tarawih berjama’ah ba’da isya? Husen Al-Uwaesyah mengutip perkataan Al-Bani berpendapat:
“Jika permasalah berkisar anta sholat di permulaan malam secara berjama’ah dan sholat diakhir malam sendirian maka sholat secara berjama’ah adalah lebih utama karena ia kan dihitung melaksankan sholat sepanjang malam” (Al-Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassaroh II/149).
Posting Komentar
Posting Komentar