Sejarah Tarawih dan Perbedaan Fiqih Tarawih
Pengertian Shalat Tarawih
Secara Bahasa (Etimologi)
Kata "Tarawih" (تراويح) berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari ترويحة (tarwihah) yang berarti "waktu istirahat." Kata ترويحة berasal dari akar kata راحَ (rāḥa) yang berarti istirahat atau ketenangan. Dalam konteks shalat, Tarawih merujuk pada shalat malam yang dikerjakan secara khusus di bulan Ramadhan, di mana setiap selesai beberapa rakaat biasanya diselingi dengan istirahat sejenak. Hal ini karena jumlah rakaatnya yang cukup banyak dibanding shalat sunnah lainnya, sehingga memberi kesempatan untuk beristirahat di tengahnya.
Rujukan: Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, jilid 2, halaman 462 Al-Munawi, Faidhul Qadir, jilid 4, halaman 76Secara Istilah (Terminologi Syariat)
Shalat Tarawih adalah shalat malam (qiyamullail) yang dilaksanakan secara khusus di malam-malam bulan Ramadhan. Ia merupakan shalat sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkad) yang dilakukan setelah shalat Isya, baik secara berjamaah di masjid maupun sendiri di rumah.
Menurut Imam An-Nawawi:
"Tarawih adalah shalat yang sangat disunnahkan di malam-malam Ramadhan. Pelaksanaannya adalah setelah shalat Isya hingga menjelang Subuh." (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 3, halaman 526)Dalil Pensyariatan
Dalil tentang disyariatkannya shalat Tarawih berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW:
Hadits 1:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
(Barang siapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.) (HR. Bukhari, no. 37; Muslim, no. 759) Hadits 2:
Dari Aisyah RA, ia berkata: "Rasulullah SAW pada suatu malam shalat di masjid, lalu orang-orang pun mengikuti shalat beliau. Malam berikutnya beliau shalat lagi, dan makin banyak yang mengikuti. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul, tetapi Rasulullah tidak keluar. Ketika pagi tiba, beliau bersabda: 'Aku tahu apa yang kalian lakukan tadi malam. Tetapi aku tidak keluar menemui kalian karena aku khawatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian.'” (HR. Bukhari, no. 924; Muslim, no. 761)Tujuan dan Hikmah Shalat Tarawih
Menghidupkan malam Ramadhan sebagaimana yang dianjurkan dalam banyak hadits. Memperoleh pengampunan dosa jika dilakukan dengan penuh iman dan harapan pahala. Menjaga kebersamaan dan ukhuwah di antara umat muslim dengan berkumpulnya jamaah di masjid. Melatih konsistensi ibadah malam untuk mendekatkan diri kepada Allah.Posisi Shalat Tarawih dalam Fiqh Islam
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali: Sepakat bahwa shalat Tarawih adalah sunnah muakkad, sangat dianjurkan, khusus di bulan Ramadhan. Ibnu Taimiyah: Menegaskan bahwa shalat malam di bulan Ramadhan termasuk dalam kategori qiyam Ramadhan yang disebutkan dalam hadits, baik disebut Tarawih atau Tahajjud, semua merujuk pada amal yang sama. Rujukan:
Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 3, hlm 526-528 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hlm 457 Imam Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, jilid 2, hlm 120
Sejarah dan Asal-usul Shalat Tarawih
1. Shalat Malam di Bulan Ramadhan di Masa Rasulullah SAW
Praktik Shalat Malam (Qiyam Ramadhan) oleh Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW, shalat malam di bulan Ramadhan dikenal sebagai bagian dari Qiyam Ramadhan. Shalat ini tidak memiliki istilah khusus seperti "Tarawih" sebagaimana dikenal saat ini. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan shalat malam.
Dalil utama: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari No. 37; Muslim No. 759)Rasulullah Shalat Berjamaah Beberapa Malam
Awal mula shalat Tarawih berjamaah dimulai ketika Rasulullah SAW keluar ke masjid dan mengimami shalat malam di bulan Ramadhan. Pada malam pertama, sebagian sahabat mengikuti. Malam kedua, jamaah semakin banyak. Hingga pada malam ketiga atau keempat, Rasulullah tidak keluar ke masjid. Ketika ditanya, beliau bersabda:
"Aku tahu apa yang kalian lakukan (yaitu berkumpul untuk shalat berjamaah). Namun aku tidak keluar karena aku khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian." (HR. Bukhari No. 924; Muslim No. 761)
Kesimpulan: Di masa Rasulullah, shalat malam Ramadhan dianjurkan tetapi tidak diselenggarakan rutin secara berjamaah di masjid karena kekhawatiran akan menjadi wajib.
2. Masa Khulafaur Rasyidin:
Inisiasi Umar bin Khattab RA Setelah Rasulullah wafat, pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, umat Islam masih melaksanakan Qiyam Ramadhan secara sendiri-sendiri atau berjamaah kelompok kecil. Namun, pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, beliau melihat keragaman ini dan berinisiatif mengumpulkan seluruh jamaah di masjid di bawah satu imam.
Umar RA mengangkat Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dan inilah awal mula shalat Tarawih berjamaah yang terorganisir secara resmi. Umar RA berkata:
"Inilah sebaik-baik bid’ah (نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ) dan shalat yang mereka tinggalkan di akhir malam lebih utama daripada yang mereka lakukan di awal malam." (HR. Bukhari No. 2010)
Penjelasan:
Disebut "bid’ah" karena bentuk jamaah terorganisir ini belum pernah dilakukan secara rutin di zaman Rasulullah. Tetapi "bid’ah" yang dimaksud adalah bid’ah hasanah (inovasi positif), karena bertujuan melestarikan sunnah qiyam Ramadhan.
Rujukan: Imam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Bab Shalat Tarawih, Hadits No. 2010 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Jilid 4, hlm. 250
3. Perkembangan Jumlah Rakaat Tarawih
Pada masa Rasulullah, jumlah rakaat tidak dibakukan. Beliau terkadang shalat malam 11 rakaat (8 rakaat + witir 3). Namun, pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, shalat Tarawih diselenggarakan 20 rakaat agar masyarakat mendapat durasi ibadah yang lebih panjang. "Umar bin Khattab mengumpulkan orang-orang untuk shalat Tarawih berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab, dan mereka shalat 20 rakaat." (HR. Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, No. 12102)
Rujukan:
Imam Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Jilid 2, hlm. 496 Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, Jilid 3, hlm. 526
4. Masa Khalifah Utsman dan Ali RA
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA, tradisi shalat Tarawih berjamaah tetap diteruskan sebagaimana yang dimulai oleh Umar bin Khattab RA. Di beberapa tempat, jumlah rakaat mengalami variasi, misalnya di Madinah sempat dilaksanakan 36 rakaat, sebagai bentuk semangat untuk memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan.
Rujukan: Imam Malik, Al-Muwaththa', Bab Shalat Tarawih, Hadits No. 249 Imam As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawi, Jilid 1, hlm. 394
5. Masa Dinasti dan Era Klasik Islam
Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tradisi Tarawih semakin mapan. Masjid-masjid di seluruh wilayah kekuasaan Islam mulai mengadopsi Tarawih berjamaah 20 rakaat sebagai standar. Ulama Fiqh dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mendukung praktek 20 rakaat, sedangkan sebagian ulama mazhab Hanbali dan ulama salaf cenderung kepada 11 rakaat (8 rakaat + witir).
6. Penyebaran dan Tradisi Tarawih di Berbagai Wilayah
- Di wilayah Hijaz (Makkah-Madinah): Umumnya 20 rakaat.
- Di Madinah pernah mencapai 36 rakaat.
- Di wilayah Asia Selatan (India-Pakistan): Mayoritas 20 rakaat.
- Di Indonesia: NU menganut 20 rakaat. Muhammadiyah umumnya mengamalkan 8 rakaat.
- Di negara-negara Barat, pelaksanaan Tarawih sering disesuaikan dengan waktu malam yang sangat singkat (khusus di wilayah utara).
Kesimpulan Sejarah
Zaman | Bentuk Tarawih | Ciri Khas |
---|---|---|
Rasulullah SAW | Shalat malam Ramadhan tanpa jamaah rutin | Fleksibel, khawatir diwajibkan |
Abu Bakar RA | Tidak terorganisir | individual atau kelompok kecil |
Umar RA | Tarawih berjamaah 20 rakaat | Resmi diorganisir |
Utsman & Ali RA | Melanjutkan tradisi Umar | Beberapa wilayah 36 rakaat |
Dinasti Umayyah-Abbasiyah | Tarawih mapan sebagai tradisi Ramadhan | Standar 20 rakaat |
Modern | Variasi 8, 20, bahkan 36 rakaat | Menyesuaikan tradisi lokal |
Referensi Lengkap
- Imam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Shalat Tarawih
- Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
- Imam Malik, Al-Muwaththa’
- Imam As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawi
- Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari
- Imam Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra
Pendalaman Sejarah Tarawih 8 Rakaat Berjamaah
1. Tarawih 8 Rakaat di Masa Rasulullah SAW
Landasan Hadits Aisyah RA Dalil utama yang sering dijadikan dasar bagi pelaksanaan Tarawih 8 rakaat adalah hadits dari Aisyah RA:
"Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat; beliau shalat empat rakaat, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat rakaat lagi, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga rakaat." (HR. Bukhari No. 1147 dan Muslim No. 738)
🔎 Catatan: 4+4 = 8 rakaat Ditambah 3 rakaat witir menjadi 11 rakaatApakah Ini Tarawih atau Tahajjud?
Sebagian ulama menyatakan hadits Aisyah RA ini merujuk pada Qiyamullail secara umum, bukan khusus Tarawih. Namun, sebagian ulama modern berpendapat bahwa inilah bentuk awal Tarawih yang dilakukan Rasulullah di bulan Ramadhan, meskipun belum dinamai "Tarawih" secara spesifik. Kesimpulan: Tarawih 8 rakaat secara berjamaah belum tercatat sebagai tradisi khusus di zaman Rasulullah. Shalat malamnya Nabi lebih bersifat individu.
2. Awal Munculnya Tarawih 8 Rakaat Berjamaah sebagai Tradisi
- Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa Umar bin Khattab RA, tarawih 20 rakaat berjamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab menjadi standar yang terorganisir. Ini adalah bentuk resmi pertama dari Tarawih berjamaah. 8 rakaat tidak pernah disebutkan secara historis sebagai pilihan standar resmi pada masa Umar, Utsman, atau Ali. - Masa Tabi’in dan Generasi setelahnya
Di masa Tabi’in, mayoritas mengikuti 20 rakaat sesuai tradisi Umar. Namun, di beberapa komunitas kecil di Hijaz (Makkah dan Madinah), khususnya di kalangan ahli hadits yang sangat tekstualis, muncul kecenderungan kembali ke praktik Rasulullah dengan hanya 8 rakaat ditambah witir. Ini bukan tradisi utama yang terlembaga, melainkan lebih ke amalan pribadi atau komunitas kecil yang ingin lebih mendekati hadits Aisyah RA.
3. Tarawih 8 Rakaat di Era Klasik dan Madzhab
Mayoritas ulama fiqh dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) menganjurkan 20 rakaat. Tetapi, dalam kitab-kitab fiqh, opsi 8 rakaat tetap disebutkan sebagai pendapat minoritas, terutama dikaitkan dengan pendapat Aisyah RA. Ulama Salafiyah dan Ahlul Hadits cenderung merujuk langsung ke hadits Aisyah dan memilih 8 rakaat sebagai jumlah ideal, dengan klaim lebih sesuai sunnah (al-afdhal).
Rujukan:
Imam Nawawi, Al-Majmu’, Jilid 3, hlm 526-528 Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Jilid 23, hlm. 112-113 Imam Malik, Al-Muwaththa', Bab Shalat Malam di Ramadhan
4. Munculnya Tarawih 8 Rakaat di Era Modern
Reformasi oleh Gerakan Salafiyah
Awal abad ke-20, gerakan Salafiyah di Hijaz (Saudi Arabia modern) mulai aktif mengkampanyekan bahwa shalat Tarawih yang paling mendekati sunnah adalah 8 rakaat. Ini berkaitan erat dengan:- Fokus mereka pada dalil tekstual.
- Penolakan tradisi yang dianggap bid’ah.
Maka, 8 rakaat berjamaah mulai dipopulerkan di wilayah-wilayah yang dipengaruhi dakwah Salafi, termasuk di beberapa komunitas di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Muhammadiyah di Indonesia misalnya, cenderung memilih 8 rakaat sebagai bentuk pemurnian ajaran sesuai sunnah.
Penyebaran di Komunitas Modern
Selain Salafi dan Muhammadiyah, beberapa komunitas pengajian berbasis hadits, serta komunitas muslim di negara-negara Barat (yang ingin shalat singkat karena keterbatasan waktu malam), juga memilih 8 rakaat. Di masjid-masjid besar seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, standar resminya tetap 20 rakaat. Tetapi, sebagian jamaah kadang pulang setelah 8 rakaat.
Kesimpulan Sejarah Singkat
Periode | Jumlah Rakaat Dominan | Keterangan |
---|---|---|
Rasulullah SAW | Tidak spesifik berjamaah | Shalat malam 11 rakaat (8+3) di rumah |
Khulafaur Rasyidin | 20 rakaat berjamaah | Dimulai resmi oleh Umar bin Khattab |
Tabi’in & Ulama Klasik | Mayoritas 20 rakaat | 8 rakaat ada tetapi minoritas |
Era Salafi Modern | 8 rakaat digalakkan | Berdasarkan hadits Aisyah RA |
Muhammadiyah & Komunitas | Hadits 8 rakaat | populer Dianggap lebih sesuai sunnah |
Ringkasan Kesimpulan
- 8 rakaat berjamaah sebagai tradisi baru benar-benar muncul dan dipopulerkan oleh gerakan Salafiyah dan gerakan pembaruan (reformis) abad ke-20.
- Sebelumnya, 8 rakaat adalah bentuk shalat malam pribadi Rasulullah, bukan tradisi jamaah di masjid.
- 8 rakaat tidak pernah menjadi standar resmi di zaman Khulafaur Rasyidin, tetapi dipilih kembali oleh komunitas yang ingin lebih mendekati sunnah tekstual.
Referensi Pendukung
- Imam Nawawi, Al-Majmu', Jilid 3
- Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Jilid 23
- Imam Malik, Al-Muwaththa', Bab Shalat Malam Ramadhan
- Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Shiyam, hlm. 253-256
- Dr. Said Ramadan Al-Buthi, As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah La Mazhab Islami, hlm. 127-128
Dalil dan Rujukan Terkait Tarawih 8 Rakaat dan Format Salamnya
1. Dalil Utama:
Hadits Aisyah RA tentang Shalat Malam Rasulullah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: "مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا"
(Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW tidak pernah menambah di bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya tentang bagus dan panjangnya, lalu shalat 4 rakaat lagi, jangan tanya tentang bagus dan panjangnya, lalu shalat 3 rakaat) (HR. Bukhari, No. 1147; Muslim, No. 738)
Analisis Hadits Ini Disebutkan 4 rakaat + salam, lalu 4 rakaat + salam, baru 3 rakaat witir. Inilah sumber utama bagi pendapat bahwa Tarawih (atau Qiyam) bisa 4 rakaat sekaligus dengan satu salam.
2. Dalil tentang Shalat Malam 2 Rakaat Salam
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:
"صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى"
(Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.) (HR. Bukhari, No. 990; Muslim, No. 749)
Analisis Hadits Ini:
Hadits ini menjadi dalil utama bagi pendapat bahwa Tarawih dilakukan 2 rakaat salam. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama fikih, terutama dalam konteks shalat malam (Qiyamullail), termasuk Tarawih.
3. Kesimpulan Perbandingan
Format Salam | Dalil Utama | Pendapat Ulama |
---|---|---|
2 rakaat salam | Hadits Ibnu Umar: "Shalat malam itu 2 rakaat-2 rakaat." | Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) |
4 rakaat salam | Hadits Aisyah tentang shalat malam Rasulullah | Sebagian ulama (beberapa Hanbali, Salafiyah tertentu) |
4. Pandangan Ulama Klasik dan Mazhab
a. Mazhab Syafi'i dan Hanafi
Lebih utama 2 rakaat salam. Karena dalilnya lebih umum dan eksplisit tentang shalat malam. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu' menyebutkan bahwa tarawih disunnahkan 2 rakaat salam, karena itu adalah shalat malam yang telah dicontohkan oleh Nabi.
Rujukan:
Imam Nawawi, Al-Majmu', Jilid 3, hlm 526-528 Imam Al-Kasani, Bada'i As-Shana'i, Jilid 1, hlm. 288
b. Mazhab Hanbali
Hanbali juga menganjurkan 2 rakaat salam. Tetapi Ibnu Taimiyah menyebut boleh 4 rakaat salam, dengan catatan kalau mampu memperpanjang bacaan.
Rujukan:
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid 2, hlm 123 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Jilid 23, hlm 112-113
c. Tradisi Salafi Modern
Salafi yang menganjurkan 8 rakaat cenderung mengambil 2 rakaat salam. Namun, sebagian kalangan Salafi menggunakan hadits Aisyah sebagai argumen bahwa boleh 4 rakaat salam. Tetapi, saat mengamalkan di lapangan, kebanyakan Salafi tetap 2 rakaat salam untuk lebih mendekati hadits Ibnu Umar yang lebih eksplisit.
Rujukan:
Syaikh Al-Albani, Qiyam Ramadhan, hlm. 28-31
d. Muhammadiyah di Indonesia
Muhammadiyah yang cenderung 8 rakaat juga memilih 2 rakaat salam. Ini karena lebih mendekati hadits Ibnu Umar yang tegas tentang format shalat malam. Hal ini tertuang dalam Tuntunan Ramadhan Muhammadiyah.
Rujukan:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tuntunan Ramadhan, hlm. 65-66
Kesimpulan Besar
Format | Kelebihan | Kekurangan |
---|---|---|
2 rakaat salam | Dalilnya eksplisit (shahih) dan diamalkan mayoritas ulama | Lebih banyak salam, sedikit "terpotong" ritmenya |
4 rakaat salam | Ada dalil dari hadits Aisyah (tetapi dipahami sebagian ulama sebagai khusus shalat Rasul di rumah) | Dalilnya tidak eksplisit untuk Tarawih berjamaah |
Kesimpulan Praktis
- Mayoritas ulama dan tradisi masjid di dunia memilih 2 rakaat salam.
- 4 rakaat salam lebih jarang diamalkan dan lebih bersifat opsi fiqh yang minoritas.
- Kalangan yang menekankan kesesuaian sunnah tekstual (Salafi dan Muhammadiyah) juga cenderung mengambil 2 rakaat salam.
Sumber Keterangan:
- Shahih Bukhari No. 1147 Hadits Aisyah: 4 rakaat-4 rakaat
- Shahih Bukhari No. 990 Hadits Ibnu Umar: 2 rakaat-2 rakaat
- Al-Majmu’, Nawawi Fiqh Syafi’i tentang Tarawih
- Al-Mughni, Ibnu Qudamah Fiqh Hanbali tentang Tarawih
- Tuntunan Ramadhan, Muhammadiyah Panduan resmi Muhammadiyah
- Qiyam Ramadhan, Al-Albani Pandangan Salafi tentang Tarawih
Sejarah dan Khilafiyah tentang Tata Cara Witir
- Dalil-Dalil Shalat Witir
Hadits dari Ibnu Umar RA "Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila engkau khawatir masuk waktu Subuh, maka shalatlah witir satu rakaat." (HR. Bukhari No. 990; Muslim No. 749)
👉 Hadits ini menunjukkan:
Witir bisa dilakukan satu rakaat saja di akhir shalat malam. Ini dasar bagi ulama yang berpendapat 2 rakaat salam, lalu 1 rakaat salam.Hadits dari Aisyah RA
"Rasulullah SAW shalat malam sebelas rakaat. Beliau salam setiap dua rakaat, lalu shalat witir satu rakaat."(HR. Muslim No. 736)
👉 Ini menguatkan pendapat bahwa witir satu rakaat terpisah lebih utama.Hadits dari Ubay bin Ka’ab RA "Rasulullah SAW biasa shalat witir tiga rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat terakhir." (HR. Al-Hakim No. 1138, dan dishahihkan)
👉 Hadits ini menunjukkan bahwa witir 3 rakaat sekaligus dengan satu salam juga diperbolehkan.
Pandangan Ulama Mazhab
Mazhab | Pendapat |
---|---|
Hanafi | Witir 3 rakaat sekaligus dengan 1 tasyahud (duduk) di rakaat kedua, dan 1 tasyahud lagi di rakaat ketiga, lalu salam. (mirip maghrib tapi tanpa qunut di awal). |
Maliki | Witir 1 rakaat paling utama. Kalau ingin lebih banyak, shalat 2 rakaat dulu salam, lalu 1 rakaat salam. |
Syafi'i | Bisa 3 rakaat langsung (sekaligus) tanpa duduk tasyahud awal, atau bisa juga 2 rakaat salam lalu 1 rakaat. Keduanya boleh, tapi yang lebih utama 2+1 rakaat terpisah. |
Hanbali | Sama seperti Syafi'i: lebih utama 2+1 rakaat karena sesuai hadits Aisyah, tapi boleh juga 3 rakaat langsung. |
Perbandingan Praktis
|Tata Cara| Dalil Pendukung| Diikuti Oleh| 2 rakaat salam + 1 rakaat salam |Hadits Aisyah (HR. Muslim) |Mayoritas Syafi’i, Hanbali, Maliki 3 rakaat sekaligus + 1 salam |Hadits Ubay bin Ka’ab | Hanafi dan sebagian Syafi’i 1 rakaat saja langsung |Hadits Ibnu Umar (HR. Bukhari) | Maliki, Hanbali (untuk yang buru-buru)
Kesimpulan dan Rekomendasi
➡️ Mana yang Lebih Kuat?
Pendapat mayoritas ulama (Syafi’i, Hanbali, Maliki) menyatakan yang lebih utama adalah 2 rakaat salam, lalu 1 rakaat salam. Ini lebih sesuai dengan praktek Nabi yang disaksikan Aisyah RA.
➡️ Apakah 3 rakaat langsung boleh? Boleh, dan ini menjadi pilihan resmi Mazhab Hanafi. Juga diamalkan di beberapa komunitas tradisional, misalnya di sebagian wilayah Timur Tengah dan Asia Selatan.
➡️ Bagaimana Muhammadiyah dan NU?
Muhammadiyah: lebih cenderung ke 2+1 berdasarkan hadits Aisyah.
NU: fleksibel, tapi di banyak masjid NU yang 20 rakaat Tarawih, biasanya 3 rakaat langsung sekaligus karena mengikuti fikih Hanafi yang kuat di tradisi pesantren Nusantara.
Simpulan Akhir |Jumlah & Format| Status| |---|---| |2 rakaat + 1 rakaat (terpisah)| Lebih utama menurut mayoritas ulama 3 rakaat sekaligus |Boleh menurut Hanafi dan sebagian Syafi’i 1 rakaat saja (tanpa pendahuluan)| Minimalis, tetapi sah menurut semua mazhab (untuk kondisi tertentu)
Referensi Lengkap
- Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 3, hlm 526-528
- Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid 2, hlm 123
- Imam Al-Kasani, Bada'i As-Shana'i, Jilid 1, hlm 288 (mazhab Hanafi)
- Syaikh Al-Albani, Shifat Shalat Nabi, hlm 72-74
- Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Tuntunan Ramadhan, hlm 66-67
🔎 Apakah Ada Dalil Qunut Witir di Bulan Ramadhan?
- Dalil Hadits tentang Qunut Witir
Ada beberapa hadits yang dijadikan landasan untuk qunut witir, meskipun kualitasnya ada yang diperdebatkan.
a. Hadits dari Hasan bin Ali RA
"Rasulullah SAW mengajarkanku beberapa kalimat yang aku baca dalam qunut witir:
اللهم اهدني فيمن هديت... (Doa Qunut)"
(HR. Abu Dawud No. 1425, Tirmidzi No. 464 – Tirmidzi menyatakan hasan)
👉 Hadits ini menunjukkan qunut witir dianjurkan, tetapi tidak membatasi hanya di bulan Ramadhan. Ini berlaku umum sepanjang tahun.
b. Hadits tentang Qunut di Paruh Kedua Ramadhan
Dari Ubay bin Ka’ab RA:
"Rasulullah SAW biasa melakukan qunut di paruh kedua Ramadhan." (HR. Abu Dawud No. 1428, dan disahihkan oleh Al-Albani)
👉 Hadits ini menjadi dasar utama bagi tradisi qunut witir khusus di paruh kedua Ramadhan. Dalam konteks ini, qunut bukan hanya doa pendek, tapi berisi doa panjang yang mencakup permohonan keselamatan, perlindungan, dan ampunan.
🔎 Pendapat Ulama Fikih tentang Qunut Witir di Ramadhan
Mazhab | Pendapat tentang Qunut Witir di Ramadhan | Keterangan |
---|---|---|
Hanafi | Qunut witir wajib sepanjang tahun | Berdasarkan riwayat Hasan bin Ali |
Maliki | Tidak ada qunut witir | yang ada hanya qunut Subuh Qunut Subuh dilakukan setiap hari, bukan di witir |
Syafi’i | Qunut witir sunnah di paruh kedua Ramadhan | Berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab |
Hanbali | Qunut witir sunnah sepanjang tahun | tapi khusus Ramadhan lebih ditekankan Menggabungkan semua riwayat yang ada |
🔎 Bagaimana Tradisi di Indonesia?
Organisasi | Keteangan |
---|---|
NU: | Mengamalkan qunut witir setiap malam di bulan Ramadhan, meski asalnya dalam mazhab Syafi’i hanya dianjurkan di paruh kedua Ramadhan. |
Muhammadiyah: | Umumnya tidak melakukan qunut witir secara rutin, karena berpegang pada pandangan bahwa qunut hanya saat ada musibah besar (qunut nazilah). |
Salafi: | Menolak qunut witir secara khusus di bulan Ramadhan, kecuali sesekali, karena menganggap tidak ada dalil kuat yang mewajibkan atau menganjurkan secara spesifik di bulan Ramadhan. |
🔎 Kesimpulan dan Rekomendasi
Pendekatan | Qunut Witir di Ramadhan | Dalil |
---|---|---|
Ulama Syafi’i (NU) | Sunnah paruh kedua Ramadhan, boleh sepanjang Ramadhan | HR Abu Dawud (1428) |
Ulama Hanafi | Wajib setiap witir (tidak khusus Ramadhan) | HR Abu Dawud (1425) |
Ulama Maliki | Tidak dianjurkan di witir, hanya qunut Subuh | Praktik Madinah |
Salafi | Boleh, tapi tidak dianjurkan khusus di Ramadhan | Mengkritisi sanad hadits Ubay bin Ka’ab |
🔎 Rujukan Lengkap
- Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, No. 1425 dan 1428
- At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, No. 464
- An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 4, hlm. 15
- Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid 1, hlm 827
- Imam Malik, Al-Muwaththa', Bab Qunut Subuh
- Syaikh Al-Albani, Irwa’ul Ghalil, Jilid 2, hlm 183-185
- Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih
Kesimpulan Akhir
✅ Ada rujukan hadits tentang qunut witir di paruh kedua Ramadhan.
✅ Syafi’i dan Hanbali memandangnya sunnah, Hanafi bahkan mewajibkan qunut witir sepanjang tahun.
✅ Praktik qunut witir di setiap malam Ramadhan adalah bentuk pengembangan tradisi di komunitas NU, meski dalam fiqh murni Syafi’i sebenarnya hanya dianjurkan paruh kedua.
✅ Qunut witir bukan bid’ah sesat, karena ada dasar haditsnya, walau ada perbedaan interpretasi di antara ulama.
Teks Doa Qunut Witir (Arab)
اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوبُ إِلَيْكَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Terjemahan Doa Qunut Witir
"Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan. Peliharalah kami sebagaimana orang-orang yang telah Engkau pelihara. Berkahilah kami dalam segala yang Engkau karuniakan. Lindungilah kami dari segala keburukan yang telah Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau yang menetapkan dan tidak ada yang menetapkan atas-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau lindungi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami, dan Maha Tinggi Engkau. Segala puji bagi-Mu atas segala ketetapan-Mu. Kami memohon ampun dan bertobat kepada-Mu. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat beliau."
📚 📖 Rujukan Fikih:
Imam Nawawi, Al-Majmu’, Jilid 4, hlm 15-16 Kitab Fiqh Manhaji Ala Mazhab Syafi’i, Jilid 1, hlm 194 Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (untuk referensi komparasi)
Posting Komentar
Posting Komentar