jfl4pTej7k4QfCLcbKfF9s3px8pyp1IT1rbd9c4h
🌻🍃Puasa Enam Hari Syawwal; (pro kontra) hukumnya, tata cara, dan keutamaan 🍃🌻

Iklan Billboard 970x250

🌻🍃Puasa Enam Hari Syawwal; (pro kontra) hukumnya, tata cara, dan keutamaan 🍃🌻

Dalil:

ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺛﻢ ﺃﺗﺒﻌﻪ ﺳﺘﺎ ﻣﻦ ﺷﻮاﻝ، ﻛﺎﻥ ﻛﺼﻴﺎﻡ اﻟﺪﻫﺮ

Siapa yang puasa Ramadhan lalu diikuti puasa enam hari syawwal maka dia seperti puasa setahun penuh. (HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub al Anshari)

Hukum

Sunnah, ini pendapat mayoritas ulama. Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Daud azh Zhahiri. Serta Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, dan Hanafiyah muta' akhirin. (Syarh Shahih Muslim, 8/56. Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/92). Imam Abdullah bin Al Mubarak mengatakan, ini puasa yang bagus, setara dengan tiga hari tiap bulan. (Sunan At Tirmidzi no. 759)

Perbedaannya, bagi Syafi’iyah ini sunnah bagi yang puasa Ramadhan atau tidak puasa Ramadhan. Bagi Hambaliyah, ini hanya sunnah bg yang puasa Ramadhan saja, jika tidak maka tidak disunnahkan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 29/93)

Makruh, ini pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. (Syarh Shahih Muslim, 8/56)

Alasan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, karena khawatir orang-orang awam menganggap itu bagian dari Ramadhan. Imam Malik menambahkan belum pernah ada di Madinah orang shalih dan ulamanya melakukan itu. (Al Istidzkar, 3/379, Al Mawahib Al Jalil, 3/329, Raddul Muhtar, 8/35, Al Bada'i Ash Shana'i, 4/149)

Dalam fiqihnya Imam Malik, amalan penduduk Madinah adalah hujjah, tidak mungkin tradisi yang ada di Madinah yang begitu kuat jejak para sahabat nabi dikalahkan oleh satu hadits. Oleh karena itu Imam Abdurrahman bin Al Mahdi mengatakan:

اﻟﺴﻨﺔ اﻟﻤﺘﻘﺪﻣﺔ ﻣﻦ ﺳﻨﺔ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﻳﺚ.

Kebiasaan masa lampau dari tradisi penduduk Madinah itu lebih baik daripada hadits. (Muntaqa Syarh al Muwaththa', 1/93)

Namun, jika tidak dianggap bagian dari Ramadhan tidak apa-apa. (Al Mawahib, 3/329)

Bagi Imam Abu Hanifah, makruhnya itu baik berturut2 atau tidak. Sdgkan muridnya, Abu Yusuf, makruh jika beturut2, tapi jika tdk, tidak apa-apa. Beturut-turut itu menyerupai Nasrani. Sdgkan Hanafiyah generasi belakangan mengatakan sama sekali tidak apa-apa, dan makna seperti itu telah hilang. (Raddul Muhtar, 8/35, Bahrur Raa-iq, 6/133)

Imam ash Shan'ani telah menyanggah pihak yang memakruhkan bahwasanya setelah pastinya sebuah nash (dalil) maka tidak ada hukum bagi alasan-alasan mereka itu. Dan komentar terbaik adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar: “Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Imam Malik, yakni hadits riwayat Muslim.” (Subulus Salam, 2/167)

Tata caranya

  • Bagi Imam Abdullah bin Al Mubarak, dilakukan di awal bulan, jika dilakukan tidak berturut-turut tidak apa-apa. (Sunan At Tirmidzi No. 759)
  • Syafi’iyah mengatakan lebih utama di awal bulan, dan berturut-turut. Jika tidak berturut-turut tidak apa-apa dan tetap dapat keutamaan. (Syarh Shahih Muslim, 8/56)
  • Hambaliyah mengatakan berturut-turut atau tidak, sama saja. Yang satu tidak lebih utama atas lainnya. (Fiqhus Sunnah, 1/450)
  • Hanafiyah mengatakan lebih diutamakan tidak berturut-turut, tiap pekan dua hari saja. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/93)

Jika diawal-awal bulan tidak sempat, karena masih banyak kunjungan atau dikunjungi famili dan kerabat, tidak apa-apa dia menundanya karena menghormati hidangan tuan rumah juga perintah syariat.

Keutamaannya

Sebagaimana tertera dalam haditsnya, puasa Ramadhan lalu disusul enam hari Syawwal, setara dengan puasa setahun penuh (360 hari). Sebab, 30 hari Ramadhan plus enam hari Syawwal, adalah 36, sementara satu kebaikan akan dilipatkan 10 kali.

Sebagaimana hadits qudsi:

الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

Puasa itu untukKu, dan Akulah yang akan memberikan ganjarannya, dan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan yang semisalnya. (HR. Bukhari No. 1894)

Apalagi jika dia juga melakukan puasa tiga hari tiap bulannya selain enam hari syawwal, maka dia seolah puasa dua tahun secara penuh. (Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad, Syarh Sunan Abi Daud, 13/327)

Syawwal dulu atau Qadha dulu?

Umumnya ulama mengatakan Qadha dulu, sebab:

Qadha adalah kewajiban, Syawwal adalah sunnah. Tentu kewajiban lebih didahulukan dibanding yang sunnah.

- Keutamaan mendapat "puasa setahun penuh" itu bagi yang puasa Ramadhan dan enam hari syawwal, artinya tuntas Ramadhannya lalu enam hari syawwal. Jika dia masih menyisakan puasa Ramadhannya maka dia tidak dikatakan tuntas dan tidak mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh itu. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 18, Fatawa Nuur 'Alad Darb no. 191)

Tapi, bukan berarti terlarang seseorang mendahulukan Syawwal dulu. Pembahasan di atas adalah tentang keutamaan, bukan tentang boleh atau tidaknya. Dalam Sunan At Tirmidzi, dengan sanad hasan shahih, bahwa Aisyah Radhiallahu 'Anha melakukan qadha di bulan Sya'ban selanjutnya.

Oleh krn itu, Qadha bukanlah kewajiban yang segera, tapi kewajiban yang lapang waktunya (wujuban muwassa' an). (Fiqhus Sunnah, 1/470)

Khusus wanita, Tidak Tuntas karena Haid

Jika seorang wanita sudah qadha, lalu dilanjutkan Syawwal, ternyata bentur dgn jadwal haidnya sehingga puasanya tidak tuntas enam hari dan bulan syawwal pun berakhir. Padahal dia sangat ingin menuntaskannya. Apakah dia tetap dapat keutamaannya? Semoga Allah Ta'ala tetap memberikan keutamaan tersebut berdasarkan dalil-dalil berikut:

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى

"Barang siapa yang mendatangi kasurnya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, tapi dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya."

(HR. Ibnu Majah No. 1344, dari Abu Dzar. Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: shahih. Lihat Takhrijul Ihya’, no. 1133)

- Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ

“Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan. “ (HR. Muslim no. 130, dari Abu Hurairah )

- Hadits lain:

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.”

(HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa'ad as Saidi. Imam Al Haitsami mengatakan: “ Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)

Demikian. Wallahu a'lam

🌿🌳🌷🍀🍃🌻🌸

✍️ Farid Nu'man Hasan

Baca Juga
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar