Shalat Dalam Perjalanan–Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
BAB IX - Shalat Dalam Perjalanan
BAB IX - Shalat Dalam Perjalanan
Ciri khas syariat Islam adalah keringanan dan kemudahan yang tersebar di hampir semua bagian ibadah. Salah satunya adalah keringanan untuk menjama’ dan mengqashar shalat. Menjama’ adalah melakukan dua shalat dalam satu waktu. Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan di waktu Zhuhur atau di waktu Ashar. Sedangkan mengqashar adalah mengurangi jumlah rakaat shalat ruba'iyah (yang jumlah rakaatnya empat) menjadi dua rakaat.
Namun semua keringanan itu punya aturan, sejumlah syarat dan ketentuan untuk bisa dilakukan. Tidak boleh asal gabung atau asal mengurangi begitu saja.
I. Shalat Jama'
Ada dua jenis jama', yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua disebut jama’ ta'khir. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat pada waktu shalat yang pertama. Jama’ tadim ini hanya ada dua saja. yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat Maghrib dan shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib.Di luar keduanya, tidak ada jama’ lainnya.
A. Hal-hal Yang Membolehkan Jama'
Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari. Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil :
إِنَّ مِنَ السُنَّةِ إِذَا كَانَ يَوْمُ مُطِير أَنْ يجَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ رواه الأثرم
Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR. Atsram)
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi
كَانَ النَّبِيَُ(ص) جَمَعَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
B. Syarat Jama’ Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama’ taqdim, paling tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, tidak sah bila dilakukan jama’ taqdim.
1. Niat Sejak Shalat Yang Pertama
Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
2. Tertib
Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah hukumnya.
Namun bila bukan jama’ taqdim, dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghirib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya.
3. Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama.
Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi adzan dan iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun untuk jama’ ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja.
4. Masih Berlangsungnya Safar Hingga Takbiratul Ihram Shalat Yang Kedua
Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul hram shalat Isya'.
Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita.
C. Syarat Jama’ Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama’ ta'khir hanya ada dua saja. Yaitu adalah :
1. Berniat Untuk Menmaja' Ta'khir Sebelum Habisnya Waktu Shalat Yang Pertama
Misalnya kita berniat untuk menjama’ shalat Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
2. Safar Harus Masih Berlangsung Hingga Selesainya Shalat Yang Kedua.
Kita masih harus dalam perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’ shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena itu, bila kita mau menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru Maghrib?
Bila jama’ taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat Isya', tapi boleh bila jama’ ta'khir. Namun tetap lebih utama bila dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu masjid dimana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang singgah mengerjakan shalat Maghrib dengan berjamaah.
II. Shalat Qashar
Allah SWT berfirman di dalam Al-quran al-Kariem tentang keringanan bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengurangi jumlah bilangan rakaat shalat. Pengurangan bilangan rakaat ini disebut juga dengan istilah Qashr. Yaitu pada shalat fardhu yang jumlah rakaatnya empat dikurangi menjadi dua rakaat. Sedangkan yang jumlahnya tiga rakaat (shalat Maghrib) dan dua rakaat (shalat Shubuh) tidak ada pengurangan jumlah rakaat.
A. Dasar Hukum
1. Dasar dari Al-Quran
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. An-Nisa : 110)
2. Dasar dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar)” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata:” Diwajibkan shalat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan shalat safar seperti semula (2 rakaat)” (HR Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan :
“Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut”
B. Kapankah Dibolehkan Menjama` / Qashar Shalat?
Sebenarnya untuk membolehkan seseorang menjama` shalatnya, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Tidak sembarang keadaan bisa membolehkan jama` shalat, sebab kewajiban shalat itu sudah memiliki waktu yang tetap dan pasti. Dan dimana pun seorang muslim mendapatkan waktu shalat, maka disitu dia bisa melakukan shalat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan bentuk ibadah ahli kitab yang diwajibkan untuk ibadah HANYA didalam rumah ibadahnya yang khusus. Tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.
Buat umat Muhammad, bumi telah dijadikan suci, baik untuk tayammum atau pun untuk melakukan shalat. Kapan pun seorang muslim mendengar Adzan, pada prinsipnya dia bisa langsung mengerjakan shalat di tempat itu. Sebagaimana hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ (ص) قَالَ وَجُعِلَتْ لِي اَلارْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا, فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ اَلصَّلاةُ فَلْيُصَلِّ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Telah dijadikan bumi ini bagiku dan bagi umatku sebagai masjid dan suci. Dimana pun umatku mendapatkan waktu shalat, maka dia suci. (HR. Bukhari dan Muslim)
[1] Tidak ada air? Tayammum atau wudhu pakai air di botol minuman kemasan.
[2] Tidak ada masjid/mushalla? Boleh di atas tanah, rumput, trotoar, gang, gudang atau apapun.
[3] Baju kotor? Kotor itu bukan najis dan shalat tetap sah walau baju kotor belepotan lumpur, oli, debu atau cat.
[4] Tidak ada waktu? Shalat itukan cuma beberapa gerakan kecil yang paling panjang cuma 4 rakaat. Total waktu yang dibutuhkan per rakaatnya kurang lebih satu menit. Jadi shalat yang paling panjang itu hanya butuh maksimal 4 menit saja. Ini waktu yang lebih singkat dari menghabiskan sebatang rokok, atau waktu yang lebih cepat dari berjalan bolak balik ke toilet.
[5] Tidak mau? Nah inilah satu-satunya alasan untuk tidak shalat atau untuk melalaikan kewajibannya.
Dengan demikian, hampir-hampir tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk tidak shalat atau mengabung-gabung shalatnya, selama kondisi masih memungkinkan.
C. Diantara penyebab dibolehkannya jama` dan qashar adalah safar adalah :
1. Bepergian atau safar
Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama fiqih antara lain :
a. Niat Safar
b. Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km ). Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal.
c. Keluar dari kota tempat tinggalnya
d. Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
2. Sakit
Imam Ahmad bin Hanbal membolehka jama` karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah.
Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama` shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan .
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.
Begitu juga dengan ibnul munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Allah SWT berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
لَيْسَ عَلَى الاعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الاعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“Dan bagi orang sakit tidak ada kesulitan” (QS. Annur : 61)
3. Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini :
Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. (HR. Bukhari 1674).
4. Hujan
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata,”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim) .
Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR. Ibnu Abi Syaibah) .
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim) .
5. Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan diatas.
Allah SWT berfirman :
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim) .
D. Jarak Dibolehkan Jama` / Qashar
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama` shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.
1. Pendapat Pertama :
Imam Malik ra, Imam Asy-Syafi`i ra, Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (4 farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 Farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km .
2. Pendapat Kedua :
Abu Hanifah dan Kufiyun mengatakan minimal perjalanan 3 hari.
3. Pendapat Ketiga :
Sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti yang telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun jaraknya yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan.
Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar? “Anas menjawab:” Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:” Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni)
Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:” Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari semalam”.
Adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh”. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.
Kesimpulan :
Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama’ shalat, menurut jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.
C. Syarat Menjama` / Mengqashar
Untuk dapat mengerjakan jama` dan qashar, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yaitu :
1. Niat Safar
2. Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km )
3. Keluar dari kota tempat tinggalnya
4. Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
Dengan demikian, maka para ulama mensyaratkan bahwa shalat jama` dan qashar itu baru bisa dikerjakan bila telah melakukan perjalanan walau belum mencapai jarak itu. Sebagian lagi memberi batasan asal sudah keluar rumah.
E. Batasan Waktu Untuk Tetap Menjama` / Mengqashar
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama` dan mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha.
Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Ibnul Qoyyim berkata,
” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.
Disebutkan Ibnu Abbas :” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari) .
www.ustsarwat.com / www.rumahfiqih.com
Posting Komentar
Posting Komentar