jfl4pTej7k4QfCLcbKfF9s3px8pyp1IT1rbd9c4h
LETAK GEOGRAFIS ARAB DAN KONDISI PENDUDUKNYA

Iklan Billboard 970x250

LETAK GEOGRAFIS ARAB DAN KONDISI PENDUDUKNYA


Penulis : SYAIKH SYAFIYYURAHMAN AL-MUBARAKFURI



Sirah Nabawiyah pada hakikatnya merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah  kepada masyarakat manusia. Dengan risalah itu, beliau mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan terhadap Allah, sehingga, garis sejarah berganti dan kehidupan manusia di dunia ini berubah. Gambaran yang menakjubkan ini tidak mungkin bisa dihadirkan kecuali setelah membandingkan kondisi yang ada sebelum risalah ini dan apa yang terjadi setelah ia datang.

Berangkat dari persoalan tersebut, sebelumnya kami akan mengemukakan uraian ringkas tentang bangsa Arab dan peradabannya sebelum Islam. Di samping itu, kami juga akan menguraikan sedikit tentang beberapa kondisi menjelang pengutusan Muhammad 

LETAK GEOGRAFIS JAZIRAH ARAB

Menurut bahasa, kata Arab berarti padang pasir; tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kepada Jazirah Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.

Secara geografis, Jazirah Arab dibatasi oleh Laut Merah dan Gurun Sinai di sebelah barat, Teluk Arab dan sebagian besar negeri Iraq Selatan di sebelah timur, Laut Arab yang bersambung dengan Samudera Hindia di sebelah selatan, dan negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Iraq di sebelah utara. Meskipun ada kemungkinan sedikit perbedaan dalam penentuan batasan ini Luasnya membentang antara 1 x 13 juta mil persegi.

Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar karena kondisi alam dan letak geografisnya. Sedangkan dilihat dari kondisi internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuat Jazirah Arab seperti benteng pertahanan yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok, dan menguasai bangsa Arab. Oleh karena itu, kita bisa melihat penduduk Jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan sejak zaman dahulu. Padahal, pada waktu itu mereka hidup bertetangga dengan dua imperium besar saat itu (Romawi dan Persia), yang serangannya tak mungkin bisa dihadang andaikan tidak ada benteng pertahanan yang kokoh seperti itu.

Hubungannya dengan dunia luar, Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal sejak dahulu kala, yang mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke Benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, Timur Tengah dan Timur Dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang berlayar pasti akan bersandar di pinggiran wilayahnya.

Karena letak geografisnya seperti itu pula, sebelah utara dan selatan Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama, dan seni.

BANGSA ARAB

Merujuk kepada silsilah keturunan dan asal-usulnya, para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Arab Ba'idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq, Umain, lurhum, Hadhur, Wabar, Abil, Jasim, Hadramaut dan lain-lainnya.
  2. Arab Aribah, yaitu bangsa Arab yang berasal dari keturunan Yasyjub bin Ya'rub bin Qahthan. Sukubangsa Arab ini dikenal dengan sebutan Arab Qahthaniyah.
  3. Arab Musta'ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ismail, yang disebut juga Arab Adnaniyah.
Arab Aribah adalah bangsa Qahthan. Tempat asal-usulnya adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku. Yang terkenal adalah dua kabilah, yaitu:
  1. Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qudha'ah, dan Sakasik.
  2. Kahlan, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azad, Aus, Khazraj, dan anak keturunan Jafnah, Raja Syam.
  3. Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru Jazirah Arab menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami kegagalan dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan bangsa Romawi dan tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam.
Tidak aneh bila itu terjadi sebagai akibat dari persaingan antara suku- suku Kahlan dan suku-suku Himyar, yang berakhir dengan keluarnya suku-suku Himyar dan ditandai dengan menetapnya suku Himyar.

Suku-Suku Kahlan yang berhijrah dapat dibagi menjadi empat golongan:

Azad
Perpindahan mereka dipimpin oleh pemuka dan pemimpin mereka, Imran bin Amru Muzaiqiya.' Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu; lalu berjalan ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat yang pernah mereka tinggali setelah perjalanan mereka tersebut : Tsa'labah bin Amru pindah dari Azad menuju Hijaz, lalu menetap di antara Tsa'labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Madinah dan menetap di sana. Di antara keturunan Tsa'labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa'labah.

Di antara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin Amr (atau yang dikenal dengan Khuza'ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr Azh-Zhahran, yang selanjutnya membuka Tanah Suci dan mendiami Mekkah serta mengusir penduduk aslinya, Al-Jarahimah. Sedangkan Imran bin Amr singgah di Oman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut Azd Oman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin Al-Azd menetap di Tihamah, yang disebut Azd Syanuah. Jafnah bin Amr pergi ke Syam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak Para Raja Al-Ghassasinah, yang dinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassan, yang telah mereka singgahi sebelum akhirnya pindah ke Syam.

Lakhm dan Judzam
Mereka pindah ke timur dan utara. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi'ah, pemimpin raja-raja Al-Mundzir di Hirah.

BaniTha'i
Setelah Azad berpindah, mereka berpindah ke arah utara hingga singgah di antara dua gunung, Aja' dan Salma. Mereka menetap di sana, hingga mereka dikenal dengan sebutan Al-Jabalani (dua gunung) di Gunung Thayyi'.

Kindah
Mereka singgah di Bahrain, lalu terpaksa meninggalkannya dan singgah di Hadramaut. Namun, nasib mereka tidak jauh berbeda saat berada di Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan yang besar dan kuat. Tetapi, secepat itu pula mereka punah dan tak meninggalkan jejak. Di sana masih ada satu kabilah dari Himyar yang diperselisihkan asal keturunannya, yaitu Qudha’ah. Mereka hijrah meninggalkan Yaman dan menetap di pinggiran Iraq. 1

Adapun Arab Musta'ribah—moyang mereka yang tertua adalah Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ —yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah daerah yang disebut Ar. Kota ini berada di pinggir barat Sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang luas mengenai negeri ini, selain tentang keluarga Ibrahim kondisi keagamaan dan sosial di negeri tersebut. 2

Kita tahu bahwa Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ hijrah dari Iraq ke Haran atau Harran, termasuk pula ke Palestina. Ia lalu menjadikan negeri itu sebagai basis dakwahnya. Ia banyak menyusuri negeri ini dan negeri lainnya.3 Di salah satu perjalanan tersebut, Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ bertemu dengan Fir'aun. Istri Ibrahim, Sarah, turut menemaninya. Sarah merupakan wanita yang tercantik. Maka, Fir'aun itu hendak memasang siasat buruk terhadap istri beliau. Namun, Sarah berdoa kepada Allah, sehingga Dia membalikkan jerat yang dipasang raksasa itu ke lehernya sendiri. Akhirnya, raja yang zalim itu tahu bahwa Sarah merupakan wanita saleh yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena itu, ia menghadiahkan putrinya4, Hajar menjadi pembantu Sarah, sebagai pengakuan atas keutamaan Sarah atau karena ia takut terhadap siksa Allah. Akhirnya Sarah menikahkan Hajar dengan Ibrahim.5

Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ kembali ke Palestina dan kemudian Allah menganugerahkan Ismail dari Hajar. Hal ini membuat Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim agar menjauhkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Ismail. Maka Ibrahim membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, di Baitul Haram, yang saat itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggelayuti pikiran Ibrahim. Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan putranya di dalam tenda, di dekat Zamzam. Saat itu di Mekkah belum ada seorang manusia pun dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan kantong berisi kurma dan geriba berisi air di dekat Hajar dan Ismail. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Beberapa hari setelah itu, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya. 6

Suatu kabilah dari Yaman (lurhum Kedua) datang ke sana. Dan atas izin bunda Ismail, mereka menetap di Mekkah. Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, menetap di lembah-lembah di pinggir kota Mekkah. Namun, riwayat Al-Bukhari menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Ismail dan ibunya, sebelum Ismail remaja. Mereka sudah biasa melewati jalur Mekkah sebelum itu. 7

Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Mekkah untuk menjenguk keluarganya. Tidak diketahui secara pasti berapa kali kunjungan yang dilakukannya. Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.

Pertama, Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur'an bahwa Ibrahim bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya, Ismail. Maka ia pun bangkit untuk melaksanakan perintah dalam mimpi itu.

فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ . وَنَٰدَيْنَٰهُ أَن يَٰٓإِبْرَٰهِيمُ . قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ . إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُاْ ٱلْمُبِينُ . وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Tatkala keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), lalu Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. ”Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 103-107)

Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Ismail 13 tahun lebih tua daripada Ishaq. Dari rentetan kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum Ishaq lahir. Sebab, kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah terjadinya kisah ini. Setidak-tidaknya kisah ini menunjukkan suatu kisah perjalanan Ibrahim, sebelum Ismail menginjak remaja. Adapun tiga perjalanan lainnya telah diriwayatkan Al-Bukhari secara panjang lebar dari Ibnu Abbas secara marfu' 8, yang intinya adalah:

Kedua, bahwa sebelum remaja, Ismail belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik kepadanya, maka mereka menikahkannya dengan salah seorang putri keturunan mereka. Saat itu ibu Ismail sudah meninggal dunia. Suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya. Maka beliau datang setelah pernikahan itu. Tatkala tiba di rumah Ismail, beliau tidak mendapati Ismail. Maka beliau bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Ismail mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrahim pun titip pesan, agar istrinya menyampaikan kepada Ismail untuk mengubah palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Ismail mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Ismail menceraikan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain, yaitu putri Mudhadh bin Amru, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum. 9

Ketiga, setelah perkawinan Ismail yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Ismail. Beliau bertanya kepada istri Ismail tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri Ismail adalah pujian kepada Allah. Lalu Ibrahim kembali lagi ke Palestina setelah titip pesan lewat istri Ismail, agar Ismail memperkokoh palang pintu rumahnya.

Keempat, pada kedatangan berikutnya, Ibrahim bisa bertemu dengan Ismail, yang saat itu Ismail sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat Zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Ismail berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, dan Ibrahim juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Ismail, sebagai anak yang berbakti dan saleh. Dengan adanya perjumpaan ini mereka berdua sepakat untuk membangun Ka’bah, meninggikan sendi-sendinya, dan Ibrahim memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.

Dari perkawinannya dengan anak perempuan dari Mudhadh, Ismail dikaruniai anak oleh Allah sebanyak dua belas, semuanya laki-laki,10 yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qaidar, Adba'il, Mibsyam, Misyma', Duma, Misya, Hadad, Taima', Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk sekian lama. Mata pencaharian utama mereka adalah berdagang dari negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru jazirah, bahkan keluar jazirah. Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar.

Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz Utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat yang berpusat di Petra, sebuah kota kuno yang terkenal di selatan Yordania. Kekuasaan Nabat ini telah mencapai wilayah-wilayah terdekat dan tidak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi yang menghabisi mereka.

Setelah melakukan penyelidikan dan penelitian yang akurat, As- Sayyid Sulaiman An-Nadawi menegaskan bahwa raja-raja keturunan Ghassan, termasuk Aus dan Khazraj, bukan berasal dari keturunan Qahthan, tetapi dari keturunan Nabat, anak Ismail dan keturunan mereka di negeri tersebut.11

Sementara itu, anak keturunan Qidar bin Ismail tetap tinggal di Mekkah dan membina keluarga di sana hingga mendapatkan keturunan, Adnan dan anaknya, Ma'ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa dipertahankan keberadaannya. Adnan adalah kakek ke-22 dalam silsilah keturunan Nabi . Disebutkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta.” 12 Beliau tidak melanjutkannya. 13

Segolongan ulama membolehkan penyebutan nasab dari Adnan ke atas, dengan berlandaskan kepada hadits yang mengisyaratkan hal itu. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai rincian nasab dengan perbedaan yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Adapun peneliti senior Allamah Al-Qadhi Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri رَحِمَهُ اللهُ menguatkan pendapat Ibnu Sa’ad—sebagaimana yang disebutkan pula oleh Ath-Thabari, Al-Mas’udi, dan selain mereka di sejumlah tempat— bahwa antara Adnan sampai Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ ada empat puluh keturunan. Ini menurut penelitian yang cukup mendalam. 14

Keturunan Ma'ad dari anaknya Nizar telah berpencar ke mana-mana. Menurut salah satu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma'ad. Sementara itu, Nizar sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi'ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari Rabi'ah ada Asad bin Rabi'ah, Anzah, Abdul Qais, dua anak Wa'il, Bakar dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.

Kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dari Qais Ailan lahirlah Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Dari Ghathafan lahir Abs, Dzibyan, Asyja’ dan Ghany bin A'shar. Dari Ilyas bin Mudhar ada Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khuzaimah. Dari Kinanah lahirlah Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah.

Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, Adi, Makhzum, Taim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu: Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay, dan Abdu Manaf bin Qushay.

Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, Ai- Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. 15

Rasulullah  pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِبْرَاهِيْمَ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ بَنِى كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمِ

“Sesungguhnya Allah telah memilih Ismail dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari anak Ismail, memilih Quraisy dari Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim. ” 16

Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib bahwa ia berkata, “Rasulullah  bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِيْ مِنْ خَيْرٍ فِرَقِهِمْ وَخَيْرَ الْفَرِيْقَيْنِ، ثُمَّ تَخَيَّرَ الْقَبَائِلَ، فَجَعَلَنِيْ مِنْ خَيْرِ الْقَبِيْلَةٍ، ثُمَّ تَخَيَّرَ الْبُيُوْتَ فَجَعَلَنِيْ مِنْ خَيْرِ بُيُوْتِهِمْ، فَأَنَا خَيْرُهُمْ نَفْسًا وَخَيْرُهُمْ بَيْتًا

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu menjadikan diriku sebagai sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikan diriku sebagai sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga lalu menjadikanku dari sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik diri dan sebaik-baik keluarga di antara mereka. ”17 18

Setelah anak-anak Adnan menjadi banyak, mereka berpencar di berbagai tempat di penjuru Jazirah Arab, masing-masing mencari tempat yang strategis dan daerah yang subur. Abdul Qais dan anak-anak Bakar bin Wa'il serta anak-anak Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha'b bin Ali bin Bakar pindah ke Yamamah dan menetap di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakar bin Wa’il menetap di berbagai penjuru Yamamah. membentang hingga ke Bahrain. Taghlib menetap di jazirah Eufrat dan sebagian anak keturunannya bergabung dengan Bakar. Bani Tamim menetap di Bashrah. Bani Sulaim menetap di dekat Madinah, dari lembah-lembah di pinggiran Madinah hingga ke Khaibar di bagian timur Madinah dan penghujung Hurrah. Tsaqif menetap di Tha’if. Hawazin di timur Mekkah, di pinggiran Authas, antara Mekkah dan Bashrah. Bani Asad menetap di timur Taima’ dan barat Kufah. Di antara mereka dan Taima’ ada perkampungan Bukhtur dari Thaiyyi.’ Jarak dari tempat mereka ke Kufah bisa ditempuh selama perjalanan lima hari. Dzibyan menetap di dekat Taima' hingga ke Hawazin. Di Tihamah ada beberapa suku Kinanah, sedangkan di Mekkah ada suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatu yang bisa menyatukan mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang telah menyatukan mereka dan membentuk satu sama lain yang bisa mengangkat kedudukan mereka. 19

  1. Lihat uraian lengkap tentang kabilah-kabilah ini dan perpindahan mereka di kitab Muhadharat Tarikh Al-Umam Al-lslamiyyah, Al-Khudhari, 1/11-13 dan Qalbu Jaziratil 'Arab, hal. 231-235. Beberapa referensi sejarah menunjukkan perbedaan besar dalam memastikan waktu-waktu perpindahan dan penyebabnya. Setelah melakukan pengkajian dari semua aspek, kami menetapkan seperti yang kami uraian di bagian ini sesuai dengan dalil yang ada.
  2. Tafhimul Qur'an, Abul A'la Al-Maududi, 1/553-556.
  3. Tarikh Ibnu Khaldun, I/108.
  4. Yang populer, Hajar adalah seorang budak. Namun, Allamah Al-Manshurfuri telah memverifikasi bahwa ia adalah wanita merdeka, la adalah anak dari Fir'aun (gelar raja Mesir Kuno). Lihat Rahmatun lil 'Alamin, II/36-37.
  5. Ibid, II/34. Lihat lebih lengkap di Shahih Al-Bukhari, III/474.
  6. Lihat Shahih Al-Bukhari, III/474-475, kitab Al-Anbiya', nomor 3364, 3365.
  7. Ibid, I/475, nomor 3364.
  8. Ibid, I/475
  9. Qalbu Jaziratil 'Arab, hal. 230.
  10. Ibid
  11. Lihat Tarikh Ardh, II/78-86.
  12. Komentar: Hadits ini maudhu' (palsu). Sebagai tambahan penjelasan kami katakan, "Hadits ini maudhu' berdasarkan keterangan berikut ini:Allamah Al-Albani رَحِمَهُ اللهُ menyebutkan di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha'ifah, I/228, hadits no. 111: "Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta." Allah Ta'a!a berfirman: "...dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum- kaum tersebut." (Al-Furqan: 38). Hadits maudhu'.
    As-Suyuthi meriwayatkan hadits ini dalam Al-Jami' dari Ibnu Sa'ad; Ibnu Asakir meriwayatkannya dari Ibnu Abbas, dan selanjutnya meriwayatkan dengan redaksi: Bila menyebutkan nasab, beliau tidak melewati Ma'd bin Adnan bin Ud kemudian tidak melanjutkan dan bersabda, "Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta...." As-Suyuthi mengatakan, "Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dari Ibnu Abbas."
    Al-Manawi yang mensyarah hadits ini tidak mengomentari apa-apa di dua tempat, seolah-olah tidak melihat sanadnya. Bila tahu, sikap seperti ini tentu tidak dibolehkan. Ibnu Sa'ad juga meriwayatkan di dalam Ath-Thabaqat, I/I/28 dan mengatakan, "Hisyam mengabarkan kepada kami, ia mengatakan, 'Ayahku mengabarkan kepadaku dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas secara marfu' sampai akhirnya."
    Saya katakan bahwa Hisyam yang dimaksud adalah Ibnu Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi, seorang ahli nasab dan tafsir. Dia berstatus matruk (ditinggalkan), seperti yang diungkapkan oleh Ad-Daruquthni dan selainnya. Anaknya adalah Muhammad bin As-Saib yang lebih buruk daripada dirinya. Al-Jaujani dan lainnya mengatakan, "la pendusta dan bahkan ia sendiri mengakui bahwa dirinya berdusta."
    Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanad shahih dari Sufyan Ats-Tsauri yang berkata, "Al-Kalbi berkata kepadaku, 'Semua yang aku ceritakan kepadaku dari Abu Shalih adalah dusta'."
    Saya katakan, begitulah yang disebutkan di Al-Mizan dan di dalamnya ada perawi yang tercecer atau sanadnya terlalu pendek, sehingga menghalangi penisbatan pengakuan dusta kepada Al-Kalbi, seperti yang akan dijelaskan di hadits no. 5449.
    Ibnu Hibban berkata, "Pola pikir beragama jelas-jelas dusta yang lebih nyata, sehingga tidak perlu sibuk memperdalam sifatnya dalam meriwayatkan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Abu Shalih sendiri tidak pernah melihat Ibnu Abbas dan Al-Kalbi tidak mendengar dari Abu Shalih kecuali satu huruf demi satu huruf, la tidak sah disebutkan di buku-buku, lantas bagaimana mungkin ia bisa dijadikan hujjah?" Dari jalur ini pula Ibnu Asakir meriwayatkannya di dalam Tarikh Dimasyq, I/197/I; II/198, dari manuskrip di Perpustakaan Zhahiriyah, Damaskus. (Al-Malah)
  13. Lihat Tafsir Ath-Thabari, 11/191-194; dan Al-A'lam, V/6
  14. Rahmatun lil 'Alamin: I/7-8, 14-17.
  15. Muhadharat Tarikh Al-Umam Al-lslamiyyah, I/14-15.
  16. HR Muslim, II/245, bab Fadhlu Nasabin Nabi; dan At-Tirmidzi, II/201.
  17. HR At-Tirmidzi, kitab Al-Manaqib, bab Ma Ja'a fi Fadhlin Nabi, hadits no. 3607, 3608.
  18. Komentar: Hadits dha'if (lemah). Abu Isa (At-Tirmidzi) berkata, "Ini adalah hadits hasan, dan Abdullah bin Al-Harits adalah Abu Naufal." At-Tirmidzi juga mengulang periwayatannya di no. 3608, yang dekat dengannya.Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya, yakni di Musnad Al-Abbas bin Abdul Muththalib, hadits no. 1788. Syuaib Al-Arna'uth menyatakan, "Hadits itu hasan li ghairihi."
    Al-Albani menyatakan hadits ini shahih di dalam Shahih Al-Jami', hadits no. 1472, kemudian mengoreksi pendapatnya ini dan menyatakan dha'if dalam Dha'if At-Tirmidzi dan As-Silsilah Adh-Dha'ifah, hadits no. 3073, di mana ia mengkritik At-Tirmidzi, "Demikianlah pendapatnya! Padahal, Yazid bin Abi Ziyad adalah Al-Hasyimi, mantan budak mereka, yang dinyatakan oleh Al-Hafizh, 'la lemah. Hafalannya berubah ketika dewasa/tua."
    Saya katakan bahwa hadits tersebut bermasalah karena terdapat idhthirab dalam sanadnya, karena diriwayatkan demikian. Hadits lain menyebutkan, "Dari Abdullah bin Al-Harits dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib yang berkata, 'Saya berkata, 'Ya Rasulullah, ... dst.,'—seperti hadits tadi—yang juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. Hadits lain lagi berbunyi, "Dari Abdullah bin Al-Harits bin Abdul Mushthaliq dari Rabi'ah yang berkata, ..."—lalu ia menyebutkan hadits dengan matan semisal. Kali ini diriwayatkan oleh Al-Hakim, III/ 247, dan ia tidak mengomentarinya, demikian pula Adz-Dzahabi.
    Saya katakan: Perhatikanlah matan hadits yang disebutkan penulis rh maka Anda akan menemukan hal berikut:
    Tidak menyebutkan kata (من خيرهم) 'terbaik di antara mereka'.
    Menyebutkan kalimat فجعلني من خير الفبيلة) 'maka Allah menjadikan diriku yang terbaik dari kabilah'.
    Penulis menyebutkan kata kabilah secara definitif yang berarti Rasul  terbaik atas kabilah beliau. Makna ini telah ditunjukkan dalam kalimat selanjutnya dan terdapat di dalam hadits tersebut: "Maka Allah menjadikan diriku dari kabilah terbaik." Maknanya, kabilah Rasulullah keseluruhan lebih baik daripada kabilah lain. Perbedaan dua ungkapan ini jelas. (Al-Malah)
  19. Muhadharat Tarikh Al-Umam Al-lslamiyyah, Al-Khudhari, I/15-16.
sumber: shirathal-mustaqim.org
Baca Juga
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar