Takriful Quran
Menurut bahasa, “Qur’an” berarti “bacaan”. Pengertian seperti ini dikemukakan di dalam Al-Qur’an sendiri.
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu), jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”. (QS. Al-Qiyamah, 75:17-18)
Adapun menurut istilah Al-Qur’an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada qalbu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disampaikan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
Kalamullah
Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah Ta’ala. Ia bukanlah kata-kata manusia. Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala,
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…” (QS. An-Najm, 53: 3-4)
Tentang hal ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul Walid seorang jawara sastra pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَرَائِي أَنِّي وَاللَّهِ سَمِعْتُ قَوْلا مَا سَمِعْتُ مِثْلَهُ قَطُّ وَاللَّهِ مَا هُوَ بِالشِّعْرِ ، وَلا السِّحْرِ ، وَلا الْكَهَانَةِ
“Tadi sesungguhnya, demi Allah, Aku telah mendengar perkataan yang belum pernah kudengar ada yang semisalnya sama sekali, demi Allah ia bukanlah sya’ir, bukan sihir, dan bukan pula tenung…”[1]
Kalimat ini disampaikan oleh Abul Walid kepada orang-orang Quraisy sesaat setelah dibacakan kepadanya awal surat Fushilat.
Al-Mu’jiz (Mu’jizat)
Mu’jizat artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Mu’jizat itu dianugerahkan kepada para nabi dan rasul dengan maksud menguatkan kenabian dan kerasulannya, serta menjadi bukti bahwa agama yang dibawa oleh mereka benar-benar dari Allah Ta’ala.
Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemu’jizatannya itu diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena gaya bahasa yang demikian itulah Umar bin Khatthab masuk Islam setelah mendengar Al-Qur’an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat.[2]
Karena demikian tingginya bahasa Al-Qur’an, mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengannya, apalagi menandinginya. Orang yang ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah, ditantang oleh Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar.” (Al-Baqarah, 2: 23)
Allah sendiri kemudian menegaskan bahwa tidak akan pernah ada seorang pun yang mampu menjawab tantangan ini,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya)—dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya)—, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah, 2: 24).
Bahkan seandainya jin dan manusia bekerjasama untuk membuatnya, tetap mereka tidak akan sanggup,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’”. (QS. Al-Isra, 17: 88).
Selain itu, kemukjizatan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Perhatikanlah, sampai saat ini Al-Qur’an masih menjadi sumber rujukan utama bagi para pengkaji ilmu sosial, sains, bahasa, atau ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Miftah Faridl, banyak ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat meyakinkan kita bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia, apalagi ciptaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ummi (tidak pandai menulis dan membaca) yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571-632 M)[3]
Berbagai kabar ghaib tentang masa lampau (tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba’, Tsamud, ‘Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa, dan lain-lain) dan masa depan pun menjadi bukti lain kemu’jizatan Al-Qur’an. Sementara itu jika kita perhatikan cakupan materinya, nampaklah bahwa Al-Qur’an itu mencakup seluruh aspek kehidupan: masalah aqidah, ibadah, hukum kemasyarakatan, etika, moral dan politik, terdapat di dalamnya.
Al-Munazzalu ‘ala qalbi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Qur’an itu diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa atau Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa- tidak bisa dinamakan atau disebut sebagai Al-Qur’an. Demikian pula hadits qudsi[4] tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai cara:[5]
Berupa impian yang baik waktu beliau tidur. Kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu menyampaikan perkataan (firman Allah) kepada beliau.
Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu mewahyukan firman Allah kepada beliau.
Kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling berat dirasakan beliau.
Kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan diterima langsung dari Hadirat Allah sendiri.
Sekali wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari Hadirat Allah sendiri.
Al-Manquulu bi-ttawaaturi
Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang), sehingga terpelihara keasliannya. Berikut ini sekilas sejarah pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga pembukuannya seperti sekarang.
Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi:
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari. Setiap ada ayat yang diturunkan, Nabi segera menyuruh kepada para sahabat untuk menghafal dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa saja yang dapat dipakai untuk ditulis. Nabi menerangkan bagaimana ayat-ayat itu disusun dalam surah, mana yang dahulu dan mana yang kemudian. Kesaksian tentang hal ini disampaikan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu,
فَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الشَّيْءُ دَعَا بَعْضَ مَنْ كَانَ يَكْتُبُ فَيَقُولُ ضَعُوا هَؤُلَاءِ الْآيَاتِ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا وَإِذَا نَزَلَتْ عَلَيْهِ الْآيَةَ فَيَقُولُ ضَعُوا هَذِهِ الْآيَةَ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا
“Apabila turun kepada beliau sesuatu (beberapa ayat Al-Qur’an), dipanggilah oleh beliau mereka yang biasa menuliskan (Al-Qur’an). Beliau bersabda: ‘Tulis semua ayat ini pada surat yang disebut di dalamnya tentang ini dan itu’ , begitupun jika turun padanya satu ayat beliau bersabda: ‘Tulis ayat ini di surat yang disebut di dalamnya ini dan itu…’” (HR. Tirmidzi No.3011).
Beberapa sahabat yang bertugas menuliskan Al-Qur’an untuk beliau diantaranya ialah Ali bin Abu Talib, Ustman bin Affan, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit dan Muawiyah. Yang terbanyak menuliskannya ialah Zaid bin Tsabit dan Muawiyah.
Dengan demikian, di masa Nabi ada tiga unsur pemeliharaan Al-Qur’an, yaitu:
Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.
Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi.
Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Selain itu, Malaikat Jibril melakukan ulangan (repitisi) sekali setahun. Pada saat ulangan itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam disuruh mengulang dan memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat ulangan itu diadakan oleh Jibril dua kali.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ
Dari Abu Hurairah beliau berkata: “(Jibril) mengecek bacaan Al Qur`an Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sekali pada setiap tahunnya. Namun pada tahun wafatnya beliau , Jibril melakukannya dua kali…” (HR. Bukhari No.4614).
Pada saat Nabi wafat, Al-Qur’an telah dihafal oleh banyak orang dan telah ditulis dengan lengkap ayat-ayatnya. Para sahabat telah mendengar Al-Qur’an itu dari mulut Nabi berkali-kali dalam shalat, khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran yang beliau sampaikan.
Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Khulafaur Rasyidin.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada masa pemerintahan Abu Bakar diadakanlah proyek pengumpulan Al-Qur’an. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an dalam perang Yamamah. Zaid bin Tsabit ditugaskan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Ia kemudian mengumpulkan tulisan Al-Qur’an dari daun, pelapah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.
Dalam upaya pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya tetapi masih memandang perlu mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan dua orang saksi. Selanjutnya, Al-Qur’an ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah Abu Bakar meninggal mushaf ini diserahkan kepada penggantinya, Umar bin Khattab. Setelah Umar meninggal mushaf ini disimpan di rumah Hafsah putri Umar, istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Di masa Khalifah Usman bin Affan daerah pemerintahan Islam telah sampai ke Armenia dan Azarbaijan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Kaum Muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Diantara mereka ada yang memiliki naskah-naskah Al-Qur’an, namun naskah-naskah mereka berbeda susunannya dengan naskah resmi yang ada pada khalifah. Di antara mereka pun ada yang berselisih tentang qiraat (bacaan dialek) Al-Qur’an. Perselisihan ini semakin menjurus kepada pertikaian tentang bacaan Al-Qur’an. Jika ini dibiarkan saja tentu akan mendatangkan perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum Muslimin.
Orang yang mula-mula menghadapkan perhatian kepada hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Beliau ikut dalam peperangan menaklukkan Armenia dan Azerbaijan, selama dalam perjalanan ia pernah mendengar kaum muslimin bertikai tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur’an dan pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya: “Bacaanku lebih baik dari bacaanmu”.
Atas dasar laporan Huzaifah itu Utsman bin Affan segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk melakukan penyeragaman naskah Al-Qur’an. Dalam melaksanakan tugas ini Ustman memberikan arahan agar mengambil pedoman kepada bacaan para penghafal Al-Qur’an; jika ada pertikaian mereka tentang dialek bacaan, maka harus ditulis menurut dialek suku Quraisy sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka. Selain itu Panitia ini juga diarahkan untuk merujuk kepada lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah.
Naskah Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah -dinamai “Mushaf Al-Imam”- dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah. Sementara itu lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum proyek ini segera dimusnahkan guna menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, satu bacaan[6], dan satu tertib susunan surat-surat. Semua mushaf yang diterbitkan kemudian harus disesuaikan dengan mushaf Al-Imam. Kemudian usaha menjaga kemurnian Al-Qur’an itu tetap dilakukan oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, sampai kepada generasi yang sekarang ini.
Demikianlah usaha Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin memelihara dan menjaga Al-Qur’an dari segala macam campur tangan manusia, sehingga Al-Qur’an yang ada pada tangan kaum muslimin pada masa kini, persis sama dengan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini dijamin Allah akan tetap terpelihara untuk selamanya.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Fushshilat, 41: 41-42).
Al-Muta’abbadu bitilawatih
Membaca Al-Qur’an itu bernilai ibadah. Banyak sekali hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengungkapkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang memiliki banyak keutamaan.
Hadits dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan Alif-Lam-Mim satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)
Hadits dari Tamim Ad-Dariy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ
“Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468).
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلاَثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ قُلْنَا نَعَمْ. قَالَ « فَثَلاَثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ
“Maukah salah seorang dari kalian jika dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta yang hamil, gemuk serta besar?” Kami (para shahabat) menjawab: “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat di dalam shalat lebih baik baginya daripada mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.” (HR. Muslim)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim).
Hadits dari Abu Umamah Al-Bahily bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim).
Wallahu A’lam.
CATATAN KAKI:
[1] Hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits mu’tabarah (Bukhari, Muslim, Sunan al Arba’ah, dan Musnad Ahmad). Ibn Hisyam dalam sirahnya meriwayatkan hadits ini dari jalur Ibn Ishaq yang mendengarnya dari Yazid Ibn Ziyad dari Muhammad Ibn Ka’b al Qurazhy. Dalam jalur riwayat ini, orang yang tersebut terakhir tidak menyebutkan dari siapa ia mendengar riwayat ini. Orang tersebut merupakan orang dari golongan tabi’in dan oleh karena itu menurut ketentuan ‘ulum al hadits, derajatnya adalah hadits maqtu’. Ibn Katsir dalam Sirah Nabawiyahnya juga mengutip hadits tersebut, katanya hadits tersebut diriwayatkan oleh ‘Abd Ibn Humaid dalam Mushafnya. Mengenai jalur periwayatnnya, Ibn Humaid mendapatkan hadits tersebut dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah seperti diceritakan oleh ‘Ali Ibn Mashur dari ‘Abdullah al Kindi dari Ziyal Ibn Harmilah al Asdy dari Jabir Ibn ‘Abdillah. Orang yang tersebut terakhir ini adalah golongan sahabat, oleh karena itu haditsnya adalah mauquf. (lihat: Hadist Dakwah, Prio Hotman)
[2] Pokok-pokok Ajaran Islam, DR. Miftah Faridl, Pustaka Bandung hal. 9.
[3] Di antara ayat-ayat tersebut umpamanya QS. 39: 6, 6: 125, 23: 12-14, 51: 49, 41: 11: 41, 21: 30-33, 51:7, 49 dan lain-lain
[4] Menurut para ulama hadits qudsi ialah: “Sesuatu yang diberitakan Allah kepada Nabi saw dengan perantaraan Jibril, atau dengan jalan ilham atau mimpi waktu tidur, lalu oleh beliau disampaikan kepada ummat dengan lafadz dan ucapan beliau sendiri, berdasarkan taufiq dari Allah ta’ala. Apabila Rasulullah saw meriwayatkan hadits qudsi, biasanya mengucapkan “Qaala-Llahu ta’aala” (Allah berfirman…), tapi firman itu tidak dimasukkan dalam Al-Qur’an. Begitu juga uslub-nya (susunan kata) tidak sama dengan uslub ayat-ayat Al-Qur’an.
[5] Lihat Kelengkapan Tarikh Muhammad (Gema Insani Press) hal. 142-143.
[6] Bacaan (qiraat) yang dikenal oleh masyarakat muslim saat ini bermacam-macam, tetapi bacaan yang berbeda-beda itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf-mushaf Utsman.
sumber: tarbawiyah.com
Posting Komentar
Posting Komentar