jfl4pTej7k4QfCLcbKfF9s3px8pyp1IT1rbd9c4h
Fiqh Sholat - Ust. Ahmad Sarwat Lc.

Iklan Billboard 970x250

Fiqh Sholat - Ust. Ahmad Sarwat Lc.


Bab I - Pengertian Shalat dan Pensyariatannya

A. Pengertian Shalat

Secara bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna doa dicontohkan di dalam Al-Quran Al-Kariem pada ayat berikut ini.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah : 103)
Dalam ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa.
Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai : “serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”.

B. Waktu Pensyariatan Ibadah Shalat

Sebelum shalat lima waktu yang wajib disyariatkan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat sudah melakukan ibadah shalat. Hanya saja ibadah shalat itu belum seperti shalat 5 waktu yang disyariatkan sekarang ini.
Barulah pada malam mi`raj disyariatkan shalat 5 kali dalam sehari semalam yang asalnya 50 kali. Persitiwa ini dicatat dalam sejarah terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-5 sebelum peristiwa hijrah nabi ke Madinah. Sebagaimana tertulis dalam hadits nabawi berikut ini :

فُرِضَتِ الصَّلاَةُ عَلىَ النَّبِيِّ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُمَّ نُوْدِيَ يَا مُحَمَّدُ : إِنَّهُ لاَ يُبْدَلُ القَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخْمْسِ خَمْسِيْنَ رواه أحمد والنسائي والترمذي وصححه

Dari Anas bin Malik ra. "Telah difardhukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan ,"Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat".(HR. Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh At-Tirmizy)
Sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat disyariatkan pada malam mi’raj, namun bukan 5 tahun sebelum hijrah, melainkan pada tanggal 17 Ramadhan 1,5 tahun sebelum hijrah nabi.

C. Dalil-dalil Pensyariatan Shalat

Shalat diwajibkan dengan dalil yang qath`i dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ umat Islam sepanjang zaman. Tidak ada yang menolak kewajiban shalat kecuali orang-orang kafir atau zindiq.

Sebab semua dalil yang ada menunjukkan kewajiban shalat secara mutlak untuk semua orang yang mengaku beragama Islam yang sudah akil baligh. Bahkan anak kecil sekalipun diperintahkan untuk melakukan shalat ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih tidak mau shalat usia 10 tahun, meski belum baligh.

1. Dalil dari Al-Quran Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kareim

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"...Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."(QS. Al-Bayyinah : 5)

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (QS. Al-Hajj : 78)

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku".(QS. Al-Baqarah : 43)
Dan masih banyak lagi perintah di dalam kitabullah yang mewajibkan umat Islam melalukan shalat. Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan fi`il Amr (kata perintah) dengan perintah kepada orang banyak (khithabul jam`i). Yaitu pada surat :

 Al-Baqarah ayat 43, 83 dan110
 Surat An-Nisa ayat 177 dan 103
 Surat Al-An`am ayat 72
 Surat Yunus ayat 87
 Surat Al-Hajj : 78
 Surat An-Nuur ayat 56
 Surat Luqman ayat 31
 Surat Al-Mujadalah ayat 13
 Surat Al-Muzzammil ayat 20.
Ada 5 perintah shalat dengan lafaz "aqimish-shalata" (أقيموا الصلاة yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan khithab hanya kepada satu orang. Yaitu pada:
 Surat Huud ayat 114
 Surat Al-Isra` ayat 78
 Surat Thaha ayat 14
 Surat Al-Ankabut ayat 45
 Surat Luqman ayat 17. 
2. Dalil dari As-Sunnah
Di dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada banyak sekali perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i tentang kewajiban shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَقُوْلُ : بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ البَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ رواه البخاري و مسلم

Dari Ibni Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Islam didirikan di atas lima hal. Sahadat bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah bila mampu". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil dari Ijma`
Bahwa seluruh umat Islam sejak zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hari ini telah bersepakat atas adanya kewajiban shalat dalam agama Islam. Lima kali dalam sehari semalam.
Dengan adanya dalil dari Quran, sunnah dan ijma` di atas, maka lengkaplah dalil kewajiban shalat bagi seorang muslim. Maka mengingkari kewajiban shalat termasuk keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan bisa divonis kafir bila meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya kewajiban shalat.

Para ulama sepakat bahwa seorang muslim yang sudah akil baligh bila meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya adalah kafir dan murtad (keluar) dari agama Islam, sehingga halal darahnya. Pihak pemerintah Islam melalui mahkamah syar`iyah berhak memvonis mati orang yang murtad karena mengingkari kewajiban shalat.
Namun bila seseorang tidak shalat karena malas atau lalai, sementara dalam keyakinannya masih ada pendirian bahwa shalat itu adalah ibadah yang wajib dilakukan, maka dia adalah fasik dan pelaku maksiat. Demikian juga vonis kafir tidak bisa dijatuhkan kepada orang meninggalkan shalat karena seseorang baru saja masuk Islam atau karena tidak sampai kepada mereka dakwah Islam yang mengajarkan kewajiban shalat.
Secara duniawi, hukuman seorang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat menurut para ulama antara lain :


1. Al-Hanafiyah
Menurut kalangan Al-Hanafiyah, orang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat hukumannya di dunia ini adalah dipenjara atau dipukul dengan keras hingga keluar darahnya. Hingga dia merasa kapok dan mau mengerjakan shalat. Bila tidak mau juga, maka dibiarkan terus di dalam penjara hingga mati. Namun dia tidak boleh dibunuh kecuali nyata-nyata mengingkari kewajiban shalat. Seperti berkeyakinan secara sadar sepenuhnya bahwa di dalam Islam tidak ada perintah shalat.


2. Ulama lainnya
Sedangkan para ulama lainnya mengatakan bahwa bila ada seorang muslim yang malas tidak mau mengerjakan shalat tanpa ‘udzur syar`i, maka dia dituntun untuk bertobat (yustatab) dengan masa waktu tiga hari. Artinya bila selama tiga hari itu dia tidak bertaubat dan kembali menjalankan shalat, maka hala darahnya dan boleh dibunuh.


3. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah
Mereka mengatakan kebolehan untuk dibunuhnya itu karena dasar hudud (hukum dari Allah), bukan karena pelakunya kafir. Sehingga orang itu tidak dianggap sebagai kafir yang keluar dari Islam. Kondisinya sama dengan seorang muslim yang berzina, mencuri, membunuh dan sejenisnya. Mereka ini wajib dihukum hudud meski statusnya tetap muslim. Sehingga jasadnya pun tetap harus dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan Islam.
Jumhur ulama sepakat bahwa muslim yang tidak mengerjakan shalat bukan karena jahd (sengaja tidak mengakui kewajiban shalat), tidak dianggap orang kafir. Dasarnya adalah firman Allah SWT :

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa : 48)
Sedangkan Imam Ahmad mengatakan bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat harus dibunuh atas dasar bahwa dirinya telah kafir. Pendapat itu didasarkan pada firman Allah SWT :

فَإِذَا انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 5)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
Batas antara seorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat (HR. Jamaah kecuali Bukhari)
Namun pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa bila seorang tidak shalat hanya karena alasan malas, lalai atau baru masuk Islam, maka tidak dianggap kafir. Barulah dikatakan kafir kalau dia secara tegas menolak atau tidak menerima adanya kewajiban shalat dalam Islam.

E. Shalat Dalam Berbagai Kondisi

Shalat lima waktu adalah kewajiban / fardhu `ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah telah menentukan waktu-waktunya. Sebagaimana Allah SWT juga telah memberikan rukhsah / keringanan bagi musafir atau orang sakit dalam pelaksanaannya. 
Namun rukhsah (keringanan) yang Allah berikan tidak berarti boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan bila memang tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi seseorang berada di tengah peradaban atau kota, tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum. Bukankah di tengah jalanan yang macet itu justru banyak penjaja minuman kemasan? Apakah minuman kemasan bukan termasuk air? Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung yang pasti memiliki kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan air tidak dapat dibenarkan. 
Begitu juga dengan menjama` shalat Maghrib dan Isya`. Waktu Maghrib memang sangat sempit sehingga harus segera dikerjakan. Tetapi waktu `Isya` sangat panjang hingga menjelang subuh. Karena itu tidak ada alasan untuk menjama` shalat Isya` dengan Maghrib. 
Selain itu juga harus diperhatikan syarat dibolehkannya menjama` dua shalat yaitu bila dalam keadaan safar atau perjalanan. Sedangkan dia masih dalam kategori bukan safar karena masih berada di dalam kota. Safar adalah perjalanan keluar kota yang secara jarak memang ada perbedaan para ulama dalam batas-batasnya. Namun tidak dikatakan safar bila masih dalam kota sendiri. Ini adalah pendapat yang paling kuat. 
Jadi yang harus diakukan adalah membuat perhitungan bagaimana agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk mencari tempat shalat. 
Dalam hal ini tidak harus berupa masjid atau mushalla, tetapi sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa melakukan shalat. Bisa terminal, emper toko, halaman, trotoar dan sebagainya. Karena kelebihan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dijadikan bumi ini sebagai masjid, dimana pun kamu harus shalat maka shalatlah di mana pun di muka bumi. 
Yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa bekal sebuah botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu` cukup dengan air sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan yang dijual di jalan. 
Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang, kita bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba lalu tunaikan shalat maghrib di tempat kerja. Setelah itu barulah pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya` cukup dilakukan nanti di rumah karena waktu masih panjang. 
Dalam kasus tertentu, bila memang bus itu khusus karyawan dan bus jemputan yang mana teman-teman seperjalanannya sudah saling kenal, maka tidak ada salahnya bila jadi pelopor dengan mengusulkan kepada mereka agar bus itu bisa berhenti sejenak di pinggir tol agar bisa memberikan kesempatan kepada mereka yang muslim untuk mengerjakan shalat maghrib. Mungkin ide ini dianggap gila atau mengada-ada, tapi tidak ada salahnya dicoba?

F. Waktu-waktu Shalat Fardhu

A. Shalat Pada Waktunya

Shalat hanya boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Bila shalat dikerjakan di luar waktu yang telah ditetapkan, maka shalat itu tidak sah.
Kecuali bila ada uzur tertentu yang memang secara syariah bisa diterima. Seperti mengerjakana shalat dengan dijama` pada waktu shalat lainnya. Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat sadar dan mengetahui ada shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski sudah keluar dari waktunya. Ada pun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja dan diluar ketentuan yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak sah.
Dalam hal keharusan melakukan shalat pada waktunya, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran :

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)

B. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.

وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud : 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang , yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghrib dan Isya`.
Ayat kedua

أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra` : 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.

C. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits

Sedangkan bila ingin secara lebih spasifik mengetahui dalil tentang waktu-waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Kariem. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :

عَنِ ْبنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ (ص) جَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمِ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الظُّهْرَ حَتىَّ زَالَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العَصْرُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ العَصرِ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ، ثُمَّ جَاءَهُ المَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ المَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ العِشَاءُ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ جَاءَهُ الفَجْرُ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ –أَوْ قَالَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ - فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الصُّبْحَ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ.

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam dan berkata kepadanya,"Bangunlah dan lakukan shalat". Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Maghrib ketika mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar menjelang. (HR. Ahmad, Nasai dan Tirmizy. )
Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini :

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ :لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الفِطْرَةِ مَا صَلُّوا المَغْرِبَ قَبْلَ طُلُوْعِ النُّجُوْمِ – رواه أحمد والطبراني

Dari As-Saib bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul bintang".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

D. Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih
Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi masterpiece para fuqoha. Diantaranya yang bisa disebutkan adalah :

 Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,
 Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343,
 Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
 Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
 Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338,
 Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181,
 Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127,
 Kitab Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan
 Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 289 - 298.
Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah sebagai berikut : 

1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)
Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. 
Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib. 
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shubuh. 

Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh. 

Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini :
Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ (ص) اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يُحَرِّمُ اَلطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ اَلصَّلاةُ, وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ اَلصَّلاةُ - أَيْ: صَلاةُ اَلصُّبْحِ - وَيَحِلَّ فِيهِ اَلطَّعَامُ رَوَاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَاهُ 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ (ص) قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari". (HR. Muslim) 
2. Waktu Shalat Zhuhur
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?". 
Zawalusy-syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala. 
Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhuhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar. 
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.
Namun hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan bila siang sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar memudahkan dan bisa menambah khusyu’ 
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berikut ini : 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيّ (ص) إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ رواه البخاري

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)
3. Waktu Shalat Ashar
Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ (ر) أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ (ص) قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلِ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar". (HR. Muttafaq ‘alaihi). 
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq. 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : سمَِعْتُ رَسُولَ اللهِ (ص) يَقُولُ : تِلْكَ صَلاَةُ المُنَافِقِ يجَلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَي الشَّيْطَانَ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً رواه الجماعة ، إلا البخاري ، وابن ماجة

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"...Itu adalah shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit". (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah). 
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam.

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ (ص) قَالَ: وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning".(HR. Muslim) 
Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisah ra.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله (ص) قَالَ:حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى - والصَّلاَةُ الْوُسْطَى صَلاَةُ الْعصرِ

Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat :"Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)
Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Wustha adalah shalat Ashar". (HR. Tirmizy)
Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh.

4. Waktu Shalat Maghrib

Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ (ص) قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 

Dari Abdullah bin Amar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)". (HR. Muslim). 
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah :
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam". (HR. Tirmizy) 
Namun menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih. 

5. Waktu Shalat Isya`
Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh. 

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ (ر) أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ (ص) قَالَ: إِنَّمَا اَلتَّفْرِيطُ أَنْ يُؤَخِّرَ الصَّلاةَ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الأُخْرَى " أَخْرَجَهُ مُسْلِم 

Dari Abi Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya". (HR. Muslim) 
Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini. 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَعْتَمَ رَسُولُ اَللَّهِ (ص) ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعَشَاءِ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ ثُمَّ خَرَجَ, فَصَلَّى وَقَالَ: "إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ 

Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan / menunda shalat Isya` hingga leat tengah malam, kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas beliau bersabda,"Seaungguhnya itu adalah waktunya, seandainya aku tidak memberatkan umatku.". (HR. Muslim)

وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الاسْلَمِيِّ قَالَ: وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ اَلْعِشَاءِ, وَكَانَ يَكْرَهُ اَلنَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 

Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Muttafaq ‘alaihi)

عن جَابِرٍ قال: وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ, وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ, وَالصُّبْحَ: كَانَ اَلنَّبِيَّ (ص) يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ

Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau shallallahu 'alaihi wasallam melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)

D. Waktu Shalat Yang Diharamkan

Ada lima waktu dalam sehari semalam yang diharamkan untuk dilakukan shalat di dalamnya. Tiga di antaranya terdapat dalam satu hadits yang sama, sedangkan sisanya yang dua lagi berada di dalam hadits lainnya.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ثَلاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ (ص) يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيهِنَّ, وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ اَلشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ, وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ اَلشَّمْسُ, وَحِينَ تَتَضَيَّفُ اَلشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu berkata,"Ada tiga waktu shalat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan orang yang meninggal di antara kami. [1] Ketika matahari terbit hingga meninggi, [2] ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala hingga bergeser sedikit ke barat dan [3] berwarna matahari berwarna kekuningan saat menjelang terbenam. .(HR. Muslim)
Sedangkan dua waktu lainnya terdapat di dalam satu hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ (ر) قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ (ص) يَقُولُ: لا صَلاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ وَلا صَلاةَ بَعْدَ اَلْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ اَلشَّمْسُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak ada shalat setelah shalat shubuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada shalat sesudah shallat Ashar hingga matahari terbenam.(HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua waktu ini hanya melarang orang untuk melakukan shalat saja, sedangkan masalah menguburkan orang yang wafat, tidak termasuk larangan. Jadi boleh saja umat Islam menguburkan jenazah saudaranya setelah shalat shubuh sebelum matahari terbit, juga boleh menguburkan setelah shalat Ashar di sore hari.

Maka kalau kedua hadits di atas kita simpulkan dan diurutkan, kita akan mendapatkan 5 waktu yang di dalamnya tidak diperkenankan untuk melakukan shalat, yaitu : 

a. Setelah shalat shubuh hingga matahari agak meninggi. Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di dalam hadits Amru bin Abasah adalah qaida-rumhin aw rumhaini. Maknanya adalah matahari terbit tapi baru saja muncul dari balik horison setinggi satu tombak atau dua tombak. Dan panjang tombak itu kira-kira 2,5 meter 7 dzira' (hasta). Atau 12 jengkal sebagaimana disebutkan oleh mazhab Al-Malikiyah.
b. Waktu Istiwa` Yaitu ketika matahari tepat berada di atas langit atau di tengah-tengah cakrawala. Maksudnya tepat di atas kepala kita. Tapi begitu posisi matahari sedikit bergeser ke arah barat, maka sudah masuk waktu shalat Zhuhur dan boleh untuk melakukan shalat sunnah atau wajib.
c. Saat Terbenam Matahari Yaitu saat-saat langit di ufuk barat mulai berwarna kekuningan yang menandakan sang surya akan segera menghilang ditelan bumi. Begitu terbenam, maka masuklah waktu Maghrib dan wajib untuk melakukan shalat Maghrib atau pun shalat sunnah lainnya.
d. Setelah Shalat Shubuh Hingga Matahari Terbit Namun hal ini dengan pengecualian untuk qadha' shalat sunnah fajar yang terlewat. Yaitu saat seseorang terlewat tidak melakukan shalat sunnah fajar, maka dibolehkan atasnya untuk mengqadha'nya setelah shalat shubuh.
e. Setelah Melakukan Shalat Ashar Hingga Matahari Terbenam. Maksudnya bila seseorang sudah melakukan shalat Ahsar, maka haram baginya untuk melakukan shalat lainnya hingga terbenam matahari, kecuali ada penyebab yang mengharuskan. Namun bila dia belum shalat Ashar, wajib baginya untuk shalat Ashar meski sudah hampir maghrib.

E. Bila Waktu Shalat Telah Lewat

Bila seseorang bangun kesiangan dari tidurnya dan belum shalat shubuh, maka yang harus dilakukan adalahsegera shalat shubuh pada saat bangun tidur. Tidak diqadha dengan zhuhur pada siangnya atau esoknya. Sebab kita telah mendapatkan keterangan jelas tentang hal itu dari apa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau dan beberapa shahabat pernah bangun kesiangan dan melakukan shalat shubuh setelah matahari meninggi.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ (ص) قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Barang siapa yang ketiduran (sampai tidak menunaikan shalat) atau lupa melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia menyadarinya”. (HR Muttafaq alaihi)
Oleh karena itu, orang-orang yang kesiangan wajib menunaikan shalat shubuh tersebut pada saat ia tersadar atau terbangun dari tidurnya (tentunya setelah bersuci terlebih dahulu), walaupun waktu tersebut termasuk waktu-waktu yang terlarang melaksanakan shalat. Karena pelarangan shalat pada waktu-waktu tersebut berlaku bagi shalat-shalat sunnah muthlak yang tidak ada sebabnya. Sedangkan bagi shalat yang memiliki sebab tertentu, seperti halnya orang yang ketiduran atau kelupaan, diperbolehkan melaksanakan shalat tersebut pada waktu-waktu terlarang.

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ (ر) أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ (ص) قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْل أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit maka dia telah mendapatkan shalat tersebut (shalat shubuh)." (HR Bukhari dan Muslim)
Salah satu rahasia untuk bisa bangun di waktu shubuh bukan memasang alarm, tetapi dengan cara tidur di awal malam. Kebiasaan tidur terlalu larut malam akan menyebabkan badan lesu dan juga sulit bangun shubuh.
Orang yang tidur di awal malam, pada jam 04.00 dini hari sudah merasakan istirahat yang cukup. Secara biologis, tubuh akan bangun dengan sendirinya, bergitu juga dengan mata.
Sebaliknya, orang yang tidur larut malam, misalnya di atas jam 24.00, sulit baginya untuk bangun pada jam 04.00 dini hari. Sebab secara biologis, tubuhnya masih menuntut lebih banyak waktu istirahat lebih banyak.
Tapi yang paling utama dari semua itu adalah niat yang kuat di dalam dada. Ditambah dengan kebiasaan yang baik, dimana setiap anggota keluarga merasa bertanggung-jawab untuk saling membangunkan yang lain untuk shalat shubuh.
Kalau mau memasang alarm, letakkan di tempat yang mudah terjangkau, deringnya cukup lama dan harusa memekakkan telinga. Jangan diletakkan di balik bantal, karena biasanya dengan mudah bisa dimatikan lalu tidur lagi.

Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber :Ustsarwat.com
Baca Juga
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar